Syekh Haji Hasan Musthofa
Haji Hasan Mustafa (Garut, Jawa Barat, 1268 H/3 Juni 1852 M – Bandung, 1348
H/13 Januari 1930) adalah seorang ulama dan pujangga Islam yang banyak menulis
masalah agama dan tasawuf dalam bentuk guritan (pusisi yang berirama dalam
bahasa Sunda), pernah menjadi kepala penghulu di Aceh pada zaman Hindia
Belanda.
Haji Hasan Mustafa lahir dan hidup
dalam lingkungan menak (bangsawan Sunda), tetapi berorientasi pada pesantren.
[Ayahnya, Mas Sastramanggala, setelah naik haji disebut Haji Usman, camat
perkebunan.] Karena kekerasan hati ayahnya ia tidak dididik melalui bangku
sekolah yang akan membukakan dunia menak bagi masa depannya, melainkan
dimasukkan ke pesantren. Pertama-tama ia belajar mengaji dari orang tuanya,
kemudian belajar qiraah (membaca al-Qur’an dengan baik) dari Kiai Hasan Basri,
seorang ulama dari Kiarakoneng, Garut, dan dari seorang qari yang masih
berkerabat dengan ibunya.
Ketika berusia 8 tahun, ia dibawa
ayahnya menunaikan ibadah haji untuk pertama kali. Di Mekah ia bermukim selama
setahun dan belajar bahasa Arab dan membaca al-Qur’an. Sepulangnya dari Mekah
di masukkan ke berbagai pesantren di Garut dan Sumedang. Ia belajar dasar-dasar
ilmu syaraf dan nahwu (tata bahasa Arab) kepada Rd. H Yahya,
seorang pensiunan penghulu di Garut. Kemudian ia pindah ke Abdul Hasan, seorang
kiai dari Sawahdadap, Sumedang. Dari Sumedang ia kembali lagi ke Garut untuk
belajar kepada Kiai Muhammad Irja, murid Kiai Abdul Kahar, seorang kiai
terkenal dari Surabaya dan murid dari Kiai Khalil Madura, pemimpin Pesantren
Bangkalan, Madura. Pada tahun 1874, ia berangkat untuk kedua kalinya ke Mekah
guna memperdalam ilmu-ilmu keagamaan Islam. Kali ini ia bermukim di Mekah
selama 8 tahun. Ketika berada di Mekah ia berkenalan dengan Christiaan Snouck
Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang sedang meneliti masyarakat Islam di
Mekah. Pertemuan itu membuat hubungan keduanya akrab sampai Haji Hasan Mustafa
meninggal dunia dan Snouck Hurgronje kembali ke negerinya setelah menunaikan
tugas pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.
Menurut data yang diperoleh dari
P.S. van Koningsveld, seorang ahli bahasa Arab dan agama Islam di Belanda,
melalui naskah asli Abu Bakar Djajadiningrat, seorang ulama Indonesia, yang
dianggap sebagai sumber utama Snouck Hurgronje tentang Mekah, diperoleh
informasi bahwa Haji Hasan Mustafa adalah seorang ulama terkemuka dari Jawa
yang berada di Mekah menjelang akhir abad ke-19. Ia dianggap setingkat dengan
Haji Ahmad Banten, putra Syekh Nawawi al-Jawi (Nawawi al-Bantani). Dalam urutan
nama ulama Jawa terkemuka di Mekah saat itu, Haji Hasan Mustafa ditempatkan
dalam urutan keenam. Ia mengajar di Masjidil Haram dan mempunyai 30 orang
murid. Haji Hasan Mustafa menulis buku dalam bahasa Arab, Fath al-Mu’in
(Kunci Penolong), yang diterbitkan di Mesir.
Haji Hasan Mustafa adalah seorang
ulama yang menguasai berbagai macam ilmu yang diperoleh dari guru-gurunya di
Mekah. Selain kepada Syekh Nawawi al-Bantani, ia juga berguru pada Syekh
Mustafa al-Afifi, Syekh Abdullah az-Zawawi, Hasballah, dan Syekh Bakar
as-Satha, semuanya adalah orang Arab.
Haji Hasan Mustafa meninggalkan
Mekah pada tahun 1882, karena dipanggil oleh RH. Muhammad Musa, penghulu Garut
pada masa itu. Ia dipanggil pulang untuk meredakan ketegangan akibat perbedaan
paham di antara para ulama di Garut. Berkat usaha Haji Hasan Mustafa dan
bantuan RH. Muhammad Musa, perselisihan itu dapat diredakan. Selama 7 tahun ia
memberikan pelajaran agama siang dan malam, terutama di Masjid Agung Garut.
Karena pengetahuan agamanya yang
luas, Snouck Hurgronje pada tahun 1889 memintanya untuk mendampinginya dalam
perjalanan keliling Jawa dan Madura. Ketika itu Snouck Hurgronje adalah
penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang masalah Bumiputra dan Arab. Ia
menjadi pembantu Snouck Hurgronje selama 7 tahun. Atas usul Snouck Hurgronje,
pemerintah Belanda mengangkat Haji Hasan Mustafa menjadi kepala penghulu di
Aceh pada tanggal 25 Agustus 1893.
Jabatan kepala penghulu di Aceh
dipegangnya selama 2 tahun (1893-1895). Kemudian pada tahun 1895 ia kembali ke
Bandung dan menjadi penghulu Bandung selama 23 tahun. Akhirnya pada tahun 1918,
atas permintaannya sendiri ia memperoleh pensiun.
Haji Hasan Mustafa adalah seorang
ulama yang sabar, berpendirian teguh dan berani mengemukakan pendapat serta
pendirian. Ia mengembangkan ajaran islam melalui tugas sebagai penghulu dan
kegiatannya sebagai pengajaran agama dan tasawuf dalam pertemuan-pertemuan
informal. Di antara muridnya terdapat Kiai Kurdi dari Singaparna, Tasikmalaya,
yang mempunyai sebuah pesantren.
Ajaran Islam ditulis dan
diajarkannya dengan menggunakan lambang-lambang yang terdapat dalam pantun
serta wayang tradisional Sunda. Metafora yang dipergunakan sering bersifat khas
Sunda. Penyampaian ajaran agama Islam begitu dekat dengan kebudayaan setempat
(Sunda). Ia memetik 104 ayat al-Qur’an untuk orang Sunda. Jumlah itu dianggap
cukup dan sesuai dengan kemampuan orang Sunda dalam memahami ajaran islam.
Aliran mengenai tasawuf yang dianut
dan diajarkan kepada muridnya tidak diketahui dengan pasti. Akan tetapi
beberapa orang menyebutkan bahwa ia menganut aliran Syattariah, suatu tarekat
yang berasal dari India, didirikan oleh Syekh Abdullah Asy-Syattar,
dikembangkan di Indonesia mula-mula oleh Syekh Abdur Rauf Singkel, dan menyebar
ke Jawa Barat karena peranan Syekh Haji Abdul Muhyi, salah seorang murid Syekh
Abdur Rauf Singkel. Dalam karyanya ia sering menyebut nama al-Ghazali sebagai
sufi yang dikaguminya.
Haji Hasan Mustafa menyebarkan
ajaran Islam melalui karya-karya seninya yang sangat berlainan dengan
karya-karya seni Sunda pada masa itu. Umumnya yang dibahas adalah
maslah-masalah ketuhanan (tasawuf). Bentuk formalnya mirip dengan kitab-kitab
suluk dalam bahasa Jawa, tetapi isinya lebih dekat dengan tradisi puisi
tasawuf. Karya-karya itu merupakan perpaduan atas tanggapan, renungan, dan
pendapat Haji Hasan Mustafa terhadap bermacam-macam pengetahuan yang
dikuasainya, yakni agama Islam, tasawuf, kebudayaan Sunda, dan
peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Hampir semua karyanya ditulis dalam huruf
pegon (tulisan menggunakan huruf Arab tetapi kata-kata dalam bahasa Jawa atau
Sunda).
[Sekitar tahun 1900 ia menulis lebih
dari 10.000 bait dangding yang mutunya dianggap sangat tinggi oleh para
pengeritik sastra Sunda. Karya tersebut umumnya membahas masalah suluk,
terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti).
Metafora yang sering digunakannya untuk menggambarkan hubungan itu ialah
seperti rebung dengan bambu, seperti pohon aren dengan caruluk (bahan
aren), yang menyebabkan sebagian ulama menuduhnya pengikut mazhab wahdatul-wujud.
Terhadap tuduhan itu, ia sempat membuat bantahan Injaz al-Wa'd, fi Ithfa
al-Ra'd (membalas kontan sekalian membekap guntur menyambar) dalam bahasa
Arab yang salah satu salinan naskahnya masih tersimpan di perpustakaan
Universitas Leiden.]
Karya-karyanya yang pernah dicetak
dan dijual kepada umum adalah Bab Adat-Adat Urang Sunda Jeung Priangan Liana
ti Éta (1913), esei tentang suku Sunda, diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan Belanda (1977); Leutik Jadi Patélaan Adatna Jalma-Jalma di
Pasundan (1916); Pakumpulan Atawa Susuratanana Antara Juragan Haji Hasan
Mustafa Sareng Kyai Kurdi (1925); Buku Pengapungan (Hadis Mikraj,
tahun 1928); dan Syekh Nurjaman (1958).
Di samping itu terdapat pula
buku-bukunya yang hanya dicetak dan diedarkan di kalangan terbatas, seperti Buku
Pusaka Kanaga Wara, Pamalatén, Wawarisan, dan Kasauran Panungtungan.
Semua buku tersebut tidak diketahui tahun terbitnya.
Karya-karyanya yang dipublikasikan
dalam bentuk stensilan ialah Petikan Qur’an Katut Abad Padikana (1937)
dan Galaran Sasaka di Kaislaman (1937). Masih ada karya lain yang tidak
dipublikasikan dan disimpan oleh M. Wangsaatmadja (sekretarisnya, 1923-1930).
Pada tahun 1960 naskah tersebut diketik ulang dan diberi judul Aji Wiwitan
(17 jilid). [Selain itu, Haji Hasan Mustapa menulis naskah dalam bahasa melayu Kasful
Sarair fi Hakikati Aceh wa Fidir (Buku Rahasia Sebetulnya Aceh dan Fidi)
yang sampai sekarang naskahnya tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden.]
Pada tahun 1977 haji Hasan Mustafa
sebagai sastrawan Sunda memperoleh hadiah seni dari Presiden Republik Indonesia
secara anumerta.*** (Sumber: Suplemen Ensiklopedi
Islam Jilid 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal.
183-184. Tulisan di dalam kurung tegak merupakan catatan tambahan dari Ensiklopedi
Sunda.)
sumber :
http://riksakisunda.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar