Rabu, 05 Maret 2014

MELACAK PERKEMBANGAN RUBU’ MUJAYYAB



MELACAK PERKEMBANGAN
RUBU’ MUJAYYAB

I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Jauh sebelum islam datang perkembangan dunia astronomi sudah pesat, hal ini dipicu oleh rasa keingintahuan manusia tentang alam yang terus berkembang. Selain dipicu oleh rasa ingin tahu, keahlian dalam menerapkan pengetahuan astronomi mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam ibadah.
Karena kebutuhan dalam ibadah dikalangan umat islam sangatlah urgen, maka para astronom muslim menciptakan metode pengamatan dengan cara yang sangat akurat. Penelitian-penelitian yang mereka telah lakukan, mereka rekap dalam bentuk catatan-catatan, tabel, skema. Untuk lebih memudahkan penelitian serta mendapatkan hasil yang lebih akurat, mereka telah menggunakan alat-alat pendukung. Salah satu alat pendukung yang mereka gunakan adalah Rubu’ Mujayyab / Quadrant Sinus.
Sebagai alat pendukung yang pernah populer pada masa itu, kini Rubu’ Mujayyab / Quadrant Sinus mulai lenyap tengelam oleh kemajuan jaman. Padahal di dalam sebuah Rubu’ Mujayyab/ Quadrant Sinus tersebut tersimpan khazanah keilmuan yang patut digali, dicermati, serta di kembangkan, sehingga kelak akan banyak generasi muda yang mengerti tentang kemuajuan ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan oleh ilmuan muslim.
I.2. Rumusan Masalah
Keajaiban dan kehebatan Rubu’ hanya dapat di pahami jika kita memahami secara benar fungsi dan kegunaan Rubu’ tersebut. Oleh sebab itu menindak lanjuti dari sekelumit latar belakang di atas, maka ditariklah suatu rumusan masalah untuk mempermudah pembahasan, yaitu:
1. Apa pengertian Rubu’ Mujayyab?
2. Bagaimana sejarah perkembangannya Rubu’ Mujayyab?
3. Apa saja bagian-bagian Rubu’ Mujayya?
4. Apa fungsi Rubu’ Mujayyab?
II. PEMBAHASAN
II.1. Pengertian Rubu’ Mujayyab
Rubu’ Mujayyab adalah alat hitung astronimi untuk memecahkan permasalahan segitiga bola dalam astronomi.[1]
Rubu’ mujayyab dalam istilah astronomi di sebut Quadrant yang merupakan salah satu awal yang sederhana dan alat untuk mengukur astronomi, navigasi, dan survei. Dalam operasi satu pemandangan obyek, seperti bintang, melalui dua vanes pengamatan di sepanjang baris 90 ° (kanan tepi dalam gambar di atas), sambil memegang kuadran di satu sisi, dan kemudian menekan string terhadap skala dengan pihak lain . Ketika peninjauan Sun, satu baris di kuadran atas sedemikian rupa sehingga gambar yang dibentuk oleh Minggu pinnule di atas jatuh pada pinnule rendah. Satu maka klem string seperti di atas dan sudut yang dibaca pada skala.[2]
Di dalam Ensiklopedi Hisab Rukyah, yang dimaksud dengan Rubu’ Mujayyab adalah suatu alat yang bebentuk seperempat lingkaran ( 900 ) yang digunakan untuk menghitung fungsi geniometris yang sangat berguna untuk memproyerksikan perdaran benda-benda langit pada lingkaran vertikal.[3]
II.2. Sejarah Perkembangan Rubu’ Mujayyab
Setelah astrolabus, peralatan penting lainnya adalah kuadran astrolabis (Rubu’ Mujayyab), bentuk yang lebih sederhana dari astrolabus. Kuadran, yang tidak terlalu rumit dan berbentuk seperti kepingan kue sembilan puluh derajat, dapat digunakan untuk memecahkan seluruh masalah dasar pada astronomi ruang (masalah yang berhubungan dengan pemetaan ruang langit) untuk ketinggian tertentu.
Mengenai kapan munculnya rubu’ tidak pasti kapan ditemukan. Di dalam leteratur yang lain bahwa rubu’ (dalam bahasa Arab ) sudah dikenal jauh sebelum islam datang[4]. Pada awalnya penggunaan rubu’ adalah pengganti dari astrolabe[5].
Pada abab ke-11, para astronom muslim mesir mulai mengembangkan alat ini. Perputaran harian yang terlihat pada ruang angkasa disimulasikan dengan gerak benang tegang yang terletak pada pusat rubu’, dengan sebuah manik-manik yang bergerak pada benang ke posisi yang berhubungan degan matahari atau bintang tertentu, posisi tersebutdibaca pada tanda-tanda dalam rubu’. Maka benang danmanik-manik menggantikan rete pada astrolabe. Jauh lebih mudah menggunakan rubu’ dibanding dengan menggunakan astrolabe. Rubu’ pada saat itu depergunakan untuk memecahkan masalah-masalah standar pada astronomi ruang untuk garis lintang tertentu[6].
Pada abad ke-14 sebuah rubu’ yang halus dan unik dibuat dari gading, bukan kuningan atau kayu. Rubu’ ini memliki dua garis lintang. Bagian dalam, perangkat tanda standar di bagian depan berguna untuk garis lintang Kairo. Sedangkan pada bagian luar, perangkat nonstandard berguna untuk garis lintang Damaskus. Bagian belakang alat ini memiliki kisi-kisi standar yang digunakan untuk memecah maslah-masalah geometri secara numerik. Jenis rubu’ seperti ini pada saat itu dinamakan Rubu’ Mesir.[7]
Sekitar tahun 1480 para astronom Portugis telah mengatur cara untuk menentukan lintang dengan menggunakan posisi matahari sebagai perpindahan utara dan selatan khatulistiwa dengan musim, dimana kita menyebutnya sebagai "deklinasi ".[8] Dalam hal yang sederhana, para pelaut yang dapat menentukan altura nya, lintangnya, dengan menggunakan kuadran- untuk mengambil ketinggian matahari di daerah tengah hari, dan kemudian melakukan koreksi sederhana untuk posisi matahari utara atau selatan khatulistiwa menurut tanggal.
Pada abad ke-16 di Afrika Utara terdapat sebuah rubu’ terbuat dari kuningan yang di ukir dengan sangat indah. Rubu’ ini memiliki kisi-kisi sinus standar untuk melakukan fungsi trigonometri. Kisi-kisi ini pada abad pertengahan sebanding dengan penggaris geser yang ada sekarang. Bagian belakang pada alat ini memiliki penandaan yang menarik yang mungkin tidak lengkap. Lingkaran luar kemungkinan menunjukan ekuator langit, lingkaran terkecil tidak diberi tanda dan tidak memiliki fungsi yang jelas. Bulan sabit merupakan proyeksi setereografi dari eklipsi (gerhana)[9].
Mengikuti jalan perkembangannya, rubu’ telah menyebar ke penjuru dunia, salah satunya Indonesia. Penyebaran itu salah satu nya berkat para asronom muslim yang giat melalakukan penggamatan-pengamatan.
Beberapa tokoh yang berperan dalam pengkembangan rubu’ ini antara lain; al-Khawarizmi[10] ( 770-840 H ), dan Ibnu Shatir[11] ( abad ke-11 H ). Rubu’ Mujayyab yang berkembang di Indonesia adalah jenis Rubu’ yang telah dikembangkan oleh Ibnu Shatir.
Mengenai siapa yang membawa rubu’ ke Indonesia, sampai sekarang penulis belum menemukan. Di kerenakan keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh penulis.
II.3. Bagian-bagian Rubu’ Mujayyab
Kita tidak akan bisa menggunakan rubu’ jika kita tidak mengetahui bagian-bagian Rubu’ secara terperinci. Sebab dengan mengetahui bagian-bagian dari Rubu’ kita akan mudah dalam mengoprasionalkananya. Jika bisa kita harung menghafal di luar kepala.
Bagian-bagian Rubu’ Mujayyab tersebut yaitu[12]:
1. Markaz
Markaz merupakan titik pusat Rubu’. Pada markaz ini terdapat sebuah lubang yang yang berfungsi untuk memasang benang yang di sebut khoit.
2. Qausul Irtifa’(busur AB)
Busur yang mengeliingi Rubu’. Bagian ini di beri skala derajat 00 sampai 900 bermula dari kanan ke kiri.10 sama dengan 600. Ketelitian pembacaan skala tersebutsebesar 0,1250.
3. Jaibu at-Tamam (garis AM)
Garis lurus yang ditarik markaz ke awal Qaus. Jaib at-Tamam dibagi menjadi 600. Skala/jaib sama besar dan dari setiap skala ditarik garis lurus ke arah Qaus Irtifa’ yang disebut Juyub al-Ma’kusath.
4. As-Sittini (garis MB)
Garis lurus yang ditarik markaz ke akhir Qaus. Jaib at-Tamam dibagi menjadi 600. Skala/jaib sama besar dan dari setiap skala ditarik garis lurus ke arah Qaus Irtifa’ yang disebut Juyub al-Mabsuthah.
5. Hadafah
Lubang pengintai yang terdapat dalam rubu’ dan posisinya sejajar dengan as-Sittini.
6. Khoit
Benang yang dipasang pada Markaz.
7. Syaqul
Bandul yang digunakan untuk pemberat Khoith.
8. Muri
Benang yang diikatkan pada khoith yang biasanya mempunyai warna berbeda dengan wara khoith agar mudah dilihat. Muri dipasang sesuai dengan keperluan pemakai dan bisa dipindah-pindah.
II.4. Fungsi Rubu’ Mujayyab
Secara fungsional Rubu’ memiliki tiga fungsi utama yaitu:
1. Alat Hitung
Dalam pengunaanya sebagai alat hitung, rubu’ ini dapat dilepaskan dari statifnya dan diletakkan secar horizontal. Secara konsep matematis, fungsi utama rubu’ adalah alat hitung yang dikenal sebagai orthogonal grid. Sebelum melakukan perhitungan dengan menggunakan rubu’ terlebih dahulu kita harus memahami konsep dasar trogonometri pada rubu’.
Konsep trigonometri rubu didasarkan pada hitungan sexagesimal (60) dimana Sin 90 = Cos0 = 60 dan Sin 0 = Cos 90 = 0 ( bandingkan dengan rumus trigonometri yang biasa kita gunakan; Sin 90 = Cos 0 = 1 dan Sin 0 = Cos 90 = 0)[13]
Karena perbandingan nilai dari trigonometri rubu’ dan trigonometri biasa adalah 60:1[14], maka nilai yang diperoleh melalui perhitungan dengan menggunkan rubu harus dibagi dengan nilai 60, agar memperoleh nilai yang sesuai dengan trigonometri biasa atau dengan nilai yang diperoleh melalui kalkulator.
2. Alat Ukur
Fungsi rubu’ sebagai alat ukur adalah untuk mengumpulkan data fisik yang dapat diolah lagi dengan menggunakan persamaan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan pemakai.
3. Table Astronomi.
Penggunaa rubu dimulai sekitar abab ke-8 M. Sejak tahun tersebut, dimana konsepsi kosmos yang digunkan saat itu adalah geosntris. Dalam pandangan pandangan geosentris, bumi merupakan pusat alam semesta dan benda-benda langit bergerak mengelilingi bumi dalam orbit yang bebentuk lingkaran sempurna. Hal ini yang menjadikan rubu’ sebagi sebuah table astronomi (posisi matahari) yang akurat pada saat itu.[15]
Dengan rubu’ kita dapat menentukan posisi matahari dalam bujur ekliptika atau Darijatu as-Syams dan deklinasi atau Mail as-Syams.
III. KESIMPULAN
Sampai sekarang rubu’ masih digunakan. Walaupun zaman sudah modern, peralatan yang digunakan untuk pengamatan astronimi sudah canggih, tetapi rubu’ masih tetap digunakan. Para ahli falak di Indonesia terus melestarikannya. Karena rubu’ merupakan khazanah keilmuan yang harus kita jaga agar tidak terkubur oleh jaman.
Tetapi perhitungan dengan menggunakan rubu’ ketelitiannya masih menghawatirkan, karena data yang dihasilkan harus dibagi 60 (sexagesimal), dan juga ketelitian derajatnya hanya sampai pada derajat tidak sampai kepada menit apalagi detik. Oleh sebab, ketika kita melakukan perhitungan dengan menggunakan rubu’, kita harus memerlukan kehati-hatian.
Rubu’ yang baik adalah yang ukurannya cukup besar, skalanya teliti dan tepat, lubang pada Markaz hanya pas untuk benang saja (tidak longgar) dan lubang Hadafanya tidak terlalu besar serta persis berimpit dengan sisi Jaib. Di samping itu, jika Rubu’ tersebut akan dipergunakan untuk mengincar sasaran, hendaknya memakai tiang yang dapat distel sedemikian rupa sehingga kalau sasarannya sudah kena, posisinya tidak berubah lagi dan dengan tepat benang bersyaqul itu akan menunjukkan possisi yang sebenarnya.
IV. PENUTUP
Demikianlah, makalah tentang sejarah perkembangan Rubu’ Mujayyab yang dapat saya paparkan. Ada kiranya, terdapat banyak kesalahan dalam penulisan dan pemaknaan serta kurangnya sumber yang saya jadikan rujukan. Saya harapkan adanya kritik, saran konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah singkat ini dapat bermanfaat dan dapat meningkatkan wawasan dan ranah keilmuan kita, khususnya di bidang ilmu falak. Amin.

V. DAFTAR PUSTAKA
Badan Hisab Dan Rukyat Departemen Agama, Almanac Hisab Rukyat,(Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam )
Hendro Setyanto, 2002, Rubu’ Mujayyab , Jawa Barat, Pundak Scientifik
Howard R, Turner, 1997, Sains Islam Yang Mengagumkan (Sebuah Catatan Terhadap Abad Pertengahan), Bandunng : Penerbit Nuansa
Muhyidin Khazin, 2004, Ilmu Falak Dalam Teori Dan Praktek (Perhitungan Arah Kiblat, Waktu Shalat, Awal Bulan, Dan Gerhana), (Yogyakarta : Buana Pustaka),
Muhyidin Khazin, 2005, Kamus Ilmu Falak , Yogyakarta : Buana Pustaka
Ponpes Ploso Mojo Kediri, Tibyanul Miqat Fi Ma’rifatil Auqat Wal Qiblat, (ploso: An-Nasyar)
Susiknan azhari, 2005, Esiklopedi Hisab Rukyah, Jogjakarta, Pustaka Pelajar


[1] Hendro Setyanto, Rubu’ Mujayyab (Jawa Barat, Pundak Scientifik) 2002, hal: 1
[3] Susiknan azhari, Esiklopedi Hisab Rukyah, (Jogjakarta, Pustaka Pelajar) 2005, hal; 129
[5] Kata astrolabe berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata asto dan labio. Astro berarti bintang sedangkan labio berarti pengukur jarak. Di dalam istilah ilmu falak, astrolabe adalah perkakas kuno yang biasa digunakan untuk mengukur benda langit pada bola langit. Perkakas ini pertama dirakit oleh orang Arab. Bentuk yang paling sederhana terdiri dari piringan dengan sekala pembagian derajat, dengan sebuah alat pengintai.
[6] Howard R Tuner, Sains Islam Yang Mengagumkan, Sebuah Catatan terhadap Abad Pertangahan. Bandung: Penerbit Nuansa, 2004, hlm 111.
[7] Ibid, hlm: 112 .
[9] Howard R Tuner, Op cit, hlm: 113.
[10] Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far muhammad ibnu Musa al-Khawarizmi. Beliau adalah salah seorang ulama Islam yang muncul sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Ketika beliau di Bagdad (204 H/ 825 M) mengarang kitab falak yang berjudul Kitab al-Mukhtasar fi hisab al-jabr wa al-Muqabalah.
[11] Seorang ahli falak kebangsaan Syiria. Menurut hasil penelitian mehdi nakosteen ibnu Syatir lahir pada tahun 1306 m dan meninggal pada tahun 1375 M. Menurutnya pula, karya-karya tulis Ibnu Syatir yang berkaitan dengan ilmu falak kemungkinan besar ditulis dalam bahasa Arab . Karya-karya Ibnu Syatir diantaranya: Rasd Ibnu Syatir, Nuzhat as-Sam fil Amal bil Rub’ al-Jami, an-Naf al-Am fil Amal bil Rub’ at-Tamam, Mukhtasar fil ‘Amal bil Istarlab, Iddah Mughayyab fil ‘Amal bil Rub’ al-Mujayyab, az-Zij al-Jadid, Taqlif al-Arsad, dan Nihayat al-Ghayat fil ‘Amal al-falakiyah.
[12] Hendro Setyanto, Rubu’ Mujayyab (Jawa Barat, Pundak Scientifik) 2002, hal: 3. Abdul Kholiq, Pelajaran Astronomi (Terjemahan kitab Durusul al-Falakiyyah), hlm: 1. lihat juga Muhammad Ma’sum bin Ali, Ad-Duruusul al-Falakiyyah
[13] Hendro Setyanto, op cit, hlm: 5.
[14] Ibid.
[15] Ibid, hlm: 19.

Hijab & Mahjub (Budi Ali HIdayat/penghulu muda)

Hijab menurut bahasa bermakna المنع      Man’u artinya menghalangi atau mencegah. Sedangkan menurut istilah ialah :
اَلَمنْـعُ مِنَ الِأرْثِ بِالكُلِّــيَةِ اَوْ مِنْ بَعْضِــهِ لأَ هْلِ الــوَارِثِ الأَخَرِ
Artinya
 “Terhalangnya seseorang dalam menerima harta waris baik keseluruhan atau sebagian hak penerimaannya karena adanya ahli waris orang lain”.
Adapun yang dimaksud dengan mahrum yaitu terhalangnya seseorang dalam menerima harta waris karena terjadinya penghalang-penghalang dalam menerima hak waris atau mewarisi. Seperti, berbeda agama (kafir atau murtad), perbudakan dan pembunuhan.
1.    Hijab Nuqshan
Berkurangnya kadar bagian harta warisan dari salah seorang ahli waris karena adanya urutan derajat yang tinggi daripada ahli waris orang lain. 
Berkata Syekh Umar Bakri (Hasyiyah Rahbiyah : 25), bahwa Hijab Nuqshan terbagi kepada 7 bagian yaitu ;
1.  الأنــتقال من فـرض الى فرض اقل مــنه
(Peralihan dari kadar bagian kepada kadar bagian yang lebih sedikit)
a)    Suami (duda) mendapat seperdua (1/2) menjadi seperempat (1/4) jika ada far’u mayit yaitu ; anak atau cucu .
b)    Istri  (janda) mendapat seperempat (1/4) menjadi seperdelapan (1/8) jika ada far’u mayit yaitu ; anak atau cucu.
c)    Ibu mendapat sepertiga (1/3) menjadi seperenam  (1/6) jika ada far’u mayit yaitu ; anak atau cucu.
d)    Cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat ½ menjadi seperenam 1/6 jika ada anak perempuan.
2.  الأنتــقال من فرض الى تعصــيب
(Peralihan dari kadar bagian kepada kadar bagian ashabah)
Lihat dalam bab VI tentang Ashabah 
3.  . الأنتــقال من تعصــيب الى فــرض
(Peralihan dari kadar bagian ashabah  kepada kadar bagian )
a)    Ayah mendapat ashabah menjadi sepenam (1/6) jika ada far’u mayit yaitu ; anak atau cucu.
b)    Kakek mendapat ashabah menjadi seperenam (1/6) jika ada far’u mayit, dan suami atau istri.
4. الأنتــقال من تعصــيب الى مثـــله 
(Peralihan dari  bagian ashabah  kepada kadar ashabah lagi )
Lihat dalam bab VI tentang ashabah bi ghairih dan ashabah ma’a ghairih
5.  المزاحمة فى الفرض فى حق الزوجة والجدة وذوات الثلثين ونحوهن.
(kelebihan  kadar bagian seperti pada hak Istri, Nenek dan Ahli Waris yang mendapat 2/3, dan sejenisnya )
6.  المزاحمة فى التعصيب فى حق كل عاصب بنفسه وعصبةبغيره وعصبة مع غيره
(kelebihan kadar bagian ashabah seperti pada hak ashabah bi nafsih, ashabah bi ghairih  dan ashabah ma’a ghairih selain ayah. )
7.  المزاحــمة  بالعول كماصار فى المــنبرية
(kelebihan kadar bagian pada aul seperti dalam masalah Mimbariyah..

2.    Hijab Hirman
Terhalangnya bagian harta warisan dari salah seorang ahli waris karena adanya urutan derajat yang tinggi daripada ahli waris orang lain.  Hijab hirman ini  terjadi apabila bertemu dengan tiga orang.
Tiga orang laki-laki yang terdiri dari ;
1.    Anak laki-laki
2.    Suami
3.    Ayah
Tiga orang laki-laki yang terdiri dari ;
1.    anak perempuan
2.    Istri
3.    Ibu
Golongan-golongan diatas adalah yang tidak bisa terhijab atau gugur dalam hak ahli waris, yaitu :
1.    Ikatan Pernikahan antara suami istri yang sah menurut syariat.
2.    Istri yang di talak raj’i oleh suami dan masih ada masa iddah (tunggu).
3.    Anak laki-laki maupun perempuan dari si mayit.
4.    Ayah dan ibu