KOREKSI TENTANG SEJARAH TIJANIYAH
Assalaamu’alaikum. Akhirnya ada juga ikhwan “Tijaniyah” yang menyempatkan
diri untuk berbagi pengetahuan tentang tarekat (bukan ilmu tarekat) yang kita
amalkan di beberapa bloq. Walaupun hanya tulisan2 yang berkenaan dengan sejarah
perkembangan Tijaniyah, itu sudah menunjukkan bahwa kita bangga dengan
jalan/tarekat yang kita lakoni.
Tetapi sayang, tidak semua isi tentang sejarah perkembangan Tijaniyah yang dimuat
benar. Ada sesuatu yang sengaja disembunyikan; ada sesuatu yang kita tidak mau
mengakuinya secara jujur.
Ada yang salah kaprah di sini dan dengan mudahnya menyamakan Thoriqoh seperti
layaknya organisasi keagamaan (seperti NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dll).
Sebenarnya ada 2 (dua) hal yang ingin kami koreksi dan menyampaikannya
kepada khalayak Tijaniyah, yaitu sejarah perkembangan dan tatacara/Adab tholaab
ilmu. Namun untuk ulasan saat ini, saya hanya ingin menyampaikan tentang
sejarah perkembangan Tijaniyah di Indonesia.
Memang benar Syaikh Ahmad Tijani memberi ijazah kepada banyak murid. Dan
dari banyak murid itu beliau angkat beberapa Muqaddam. Dan dari beberapa
Muqaddam itu beliau angkat beberapa Khalifah (Pemimpin perguruan).
Berkembangnya Tijaniyah di Indonesia lebih masyhur dikaitkan dengan perjumpaan
antara Syaikh Ali Thoyib (saat itu sudah menjadi khalifah/pemimpin perguruan)
dengan Kiai Usman Dhomiri. Singkat cerita, ketika Syaikh Ali Thoyib datang dan
bermukim di Indonesia dalam waktu yg cukup lama, beliau memberi
ijazah/taqlid/izin kepada beberapa orang menjadi murid beliau. Dari beberapa
murid itu, diangkatlah beberapa Muqaddam, di antaranya :
1. Kiai Ahmad Sanusi
2. Kiai Muhammad Sudja’i
3. Kiai Usman Dhomiri (Cimahi, Bandung)
4. Kiai Anas, kiai Abbas, kiai Akhyas
5. Kiai Badruzzaman
6. Kiai Abdul Wahab Sya’roni
Ada satu contoh yang bisa menggambarkan tentang ADAB murid kepada gurunya,
yaitu tentang Kiai Anas. Walaupun kiai Anas memperoleh ijazah pertama kali dan
murid dari Syaikh AlFahasyim, namun ketika Syaikh AlFahasyim wafat dan
digantikan oleh Syaikh Ali Thoyib, maka kiai Anas dengan ikhlas mengakui Syaikh
Ali Thoyib sebagai guru (Pemimpin perguruan) beliau dan ber-ijazah untuk kedua
kalinya. Kita bisa membayangkan bagaimana besarnya penghormatan Kiai Anas
kepada Guru, walaupun sang guru seusia atau bahkan lebih muda usia. Itu adalah
contoh ADAB yang mulia kepada Guru/SYAIKH, bagi yang meyakini bahwa tarekat
Tijaniyah adalah AGUNG dan TINGGI.
Ketika Syaikh Ali Thoyib akan wafat, maka dari beberapa Muqaddam yang
dipilih sebagai SYAIKH (Pemimpin perguruan) penerus adalah Kiai Usman Dhomiri.
Maka sejak saat itu kiai Usman Dhomiri bergelar SYAIKH dan seluruh murid dan
Muqaddam harus berkhidmat kepada SYAIKH yang baru, yaitu Syaikh Usman Dhomiri. Dengan
menerima gelar SYAIKH, maka beliau menerima pula warisan Kitab JAWAHIRUL MA”ANI
dan kitab2 yang lain termasuk 40 kitab yang berisi ilmu keduniawian.
Dalam perkembangan selanjutnya, bertambahlah murid beliau dan diangkatlah
beberapa Muqaddam baru, di antaranya kiai Sudjatma Ismail (Bogor). Nah, di
zaman kepemimpinan perguruan di bawah Syaikh Usman inilah terjadi
benturan-benturan emosional yang sulit untuk mengakui Syaikh Usman sebagai Guru
perguruan Tijaniyah, terutama dari beberapa Muqaddam yang jauh lebih sepuh
usianya.
Dan hal ini akhirnya berlanjut menjadi semacam “Penyelewengan Kesetiaan” hingga
kepada Syaikh yang berikut sampai sekarang. Syaikh Usman Dhomiri hanya
mengangkat 4 (empat) orang Muqaddam, yaitu :
1. Mualim KH Sudjatma Ismail
2. Mualim KH Nu’man Dhomiri (Putra Syaikh Usman)
3. Mualim KH Hasbulloh
4. Mualim KH Musa Nasrudin
Beberapa murid Syaikh Usman yang merupakan tokoh2 penting Indonesia, di
antaranya adalah Presiden Soekarno, KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan KH.
Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
Ada satu kejadian menarik di zaman Syaikh Usman, bahwa putra dari Syaikh Ali
Thoyib pernah meminta beberapa Kitab (termasuk Jawahirul Ma’ani) agar
diserahkan kepada beliau, tetapi Syaikh Usman menolak dengan keras. Tetapi
anehnya putra dari Syaikh Ali Thoyib tersebut bisa mengadakan semacam perguruan
Tijaniyah di tempat lain tanpa seizin Pemimpin Perguruan Tijaniyah; sesuatu di
luar keladziman tarekat Tijani ( sebagai pengganti istilah ADAB).
Singkat cerita, ketika Syaikh Usman akan wafat, maka dari beberapa Muqaddam
beliau yang dipilih sebagai SYAIKH (Pemimpin perguruan) penerus adalah Kiai
Sudjatma Ismail. Maka sejak saat itu kiai Sudjatma Ismail bergelar SYAIKH dan
seluruh murid dan MUQADDAM wajib berkhidmat kepada SYAIKH (Pemimpin perguruan) yang
baru, yaitu Syaikh Sudjatma Ismail. Dengan menerima gelar SYAIKH, maka beliau
menerima pula warisan Kitab JAWAHIRUL MA”ANI dan Kitab2 yang lain termasuk 40
kitab yang berisi 2000 ilmu keduniawian. Dalam perkembangan selanjutnya,
bertambahlah murid beliau dan beliau mengangkat beberapa Muqaddam, di antaranya
kiai Muhammad Syua’ib.
Singkat cerita, ketika Syaikh Sudjatma akan wafat, maka Muqaddam yang beliau
pilih sebagai penerus Pemimpin perguruan Tijaniyah adalah kiai Muhammad
Syua’ib. Maka sejak saat itu kiai Muhammad Syua’ib bergelar SYAIKH dan seluruh
murid dan Muqaddam wajib berkhidmat dan tunduk kepada SYAIKH yang baru. Dengan
menerima gelar SYAIKH, maka beliau menerima pula warisan Kitab JAWAHIRUL MA”ANI
dan Kitab2 yang lain termasuk 40 kitab yang berisi 2000 ilmu keduniawian.
Syaikh Muhammad Syua’ib diangkat sebagai Syaikh dalam usia yang masih sangat
muda, 30-an tahun
Di zaman Syaikh Sudjatma Ismail dan zaman Syaikh sebelumnya, aturan2 di
dalam tarekat Tijaniyah sangat keras diberlakukan. Oleh karena itu, sebenarnya
secara fakta ada beberapa murid dan Muqaddam yang tidak diakui lagi sebagai
murid tarekat Tijani, alias dipecat, dan dicabut seluruh barokah dan manfaat
ilmunya. Sebab musababnya berbagai macam; ada yang mencuri kitab, ada yang
mengamalkan ilmu tanpa izin SYAIKH, ada yang berbohong, ada yang memfitnah
SYAIKH atau mengadakan kegiatan perguruan di luar perguruan pimpinan SYAIKH.
Dan di zaman Syaikh Sudjatma dan zaman syaikh sebelumnya, seseorang belumlah
diaku sebagai murid sebelum ijazah puasa 3 hari.
Jadi, kepada murid2 Tijaniyah dan saudara2 yang berminat tholaab ilmu
Tijani, datangilah Muqaddam yang ada di kota/daerah anda untuk meminta ijazah
tarekat, tetapi carilah Muqaddam yang sanad Ijazahnya tidak meragukan,
bersambung secara jelas hingga kepada SYAIKH (Pemimpin Perguruan Tijaniyah)
yang hidup, bukan saja sampai kepada sanad Syaikh yang sudah lama wafat. Kalau
saudara ragu2, maka sebaiknya datangilah langsung SYAIKH di tempat beliau
tinggal, itu lebih utama.
Seluruh SYAIKH tarekat- sanadnya MUTLAQ bersambung hingga kepada Rasulullah
SAW. Dalam arti bahwa, semua SYAIKH tarekat adalah keturunan dari Rasulullah
SAW, baik dari pihak Sayyidina Hussein r.a ataupun dari Sayyidina Hasan r.a,
atau juga dari kedua-dua pihak.
Dalam tarekat Tijaniyah, SYAIKH diangkat secara KASYAF dan mewarisi seluruh
ilmu Tijaniyah tanpa mempelajarinya. Yaa, secara logika saja, bila harus
dipelajari/tholaab, maka 2000 ilmu itu akan memakan waktu yang sangat lama,
bahkan setelah wafatpun belum tentu tamat. Para MUQADDAM dan MURID tidaklah
mewarisi ilmu, tetapi THOLAAB ILMU, harus mengamalkan ilmu dengan syarat2 yang
sudah ditentukan. Paling2 kita sebagai murid /muqaddam hanya kuat tamat 1-2
kitab (50-100 ilmu) saja sampai tutup usia.
Sebagai penutup ulasan, saya ingin mengingatkan diri kita akan perkataan
Rasulullah SAW:
“Carilah ilmu (tholaab ilmu) sampai ke negeri Cina”, kita perumpamakan sebagai
“tholaab-lah ilmu Tijani sampai ke negeri seberang”. Tetapi kita patut
bersyukur, bahwa ada satu SYAIKH Tijani yang tidak jauh dengan tempat tinggal
kita dan tidak perlu biaya yang mahal untuk mendatanginya. Bila saudara2
meyakini bahwa Tijaniyah itu kedudukannya AGUNG dan TINGGI, maka tak ada
sesuatupun yang bisa menghalangi saudara2 untuk bertemu dengan SYAIKH yang menggenggam
segudang ilmu, tentunya yang dimaksud adalah SYAIKH penerus dari SYAIKH yang
sudah wafat. Kecuali, kita mempunyai kemampuan bertemu dengan SYAIKH yang sudah
wafat tersebut dalam keadaan KASYAF. Jadi, setelah Syaikh Usman Dhomiri wafat,
kepemimpinan perguruan dipegang oleh Syaikh Sudjatma Ismail (yg sebelumnya
sebagai Muqaddam dari Syaikh Usman) dan kita wajib berkhidmat kepada SYAIKH
yang baru. Dan setelah Syaikh Sudjatma wafat, kepemimpinan perguruan dipegang
oleh Syaikh Muhammad Syua’ib sampai sekarang dan kita wajib berkhidmat kepada
beliau. Lhaa, kalau nanti Syaikh Muhammad Syua’ib wafat, siapa yang
memegang/meneruskan kepemimpinan?? Wallohu a’lam. Yang pasti seseorang dibai’at
sebagai SYAIKH karena pilihan dan petunjuk dari Rasulullah SAW. Jadi, kalau
kita memiliki ilmu KASYAF, bergurulah langsung kepada GURU BESAR yang sudah
wafat: Sayyidi Syaikh Ahmad Tijani. Nggak perlu berguru kepada Syaikh Muhammad
Al-Ghola hingga Syaikh Muhammad Syua’ib, apalagi berguru kepada murid2 yang
tingkatannya hanyalah sebagai MUQADDAM. Mengapa penghormatan kita kepada
MUQADDAM jauh melebihi penghormatan kepada SYAIKH (Pemimpin Perguruan Tijani)?
Bila kita ditakdirkan hidup sampai 500 tahun ke depan, maka kita pun harus
tunduk dan berkhidmat kepada SYAIKH yang hidup 500 tahun mendatang.
By. Harun (http://luluvikar.wordpress.com/2004/08/22/tarekat-tijaniyah/