Senin, 10 Maret 2014

Koreksi Tentang Sejarah Tijaniyah By. H.Harum


KOREKSI TENTANG SEJARAH TIJANIYAH
Assalaamu’alaikum. Akhirnya ada juga ikhwan “Tijaniyah” yang menyempatkan diri untuk berbagi pengetahuan tentang tarekat (bukan ilmu tarekat) yang kita amalkan di beberapa bloq. Walaupun hanya tulisan2 yang berkenaan dengan sejarah perkembangan Tijaniyah, itu sudah menunjukkan bahwa kita bangga dengan jalan/tarekat yang kita lakoni.
Tetapi sayang, tidak semua isi tentang sejarah perkembangan Tijaniyah yang dimuat benar. Ada sesuatu yang sengaja disembunyikan; ada sesuatu yang kita tidak mau mengakuinya secara jujur.
Ada yang salah kaprah di sini dan dengan mudahnya menyamakan Thoriqoh seperti layaknya organisasi keagamaan (seperti NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dll).
Sebenarnya ada 2 (dua) hal yang ingin kami koreksi dan menyampaikannya kepada khalayak Tijaniyah, yaitu sejarah perkembangan dan tatacara/Adab tholaab ilmu. Namun untuk ulasan saat ini, saya hanya ingin menyampaikan tentang sejarah perkembangan Tijaniyah di Indonesia.
Memang benar Syaikh Ahmad Tijani memberi ijazah kepada banyak murid. Dan dari banyak murid itu beliau angkat beberapa Muqaddam. Dan dari beberapa Muqaddam itu beliau angkat beberapa Khalifah (Pemimpin perguruan). Berkembangnya Tijaniyah di Indonesia lebih masyhur dikaitkan dengan perjumpaan antara Syaikh Ali Thoyib (saat itu sudah menjadi khalifah/pemimpin perguruan) dengan Kiai Usman Dhomiri. Singkat cerita, ketika Syaikh Ali Thoyib datang dan bermukim di Indonesia dalam waktu yg cukup lama, beliau memberi ijazah/taqlid/izin kepada beberapa orang menjadi murid beliau. Dari beberapa murid itu, diangkatlah beberapa Muqaddam, di antaranya :
1. Kiai Ahmad Sanusi
2. Kiai Muhammad Sudja’i
3. Kiai Usman Dhomiri (Cimahi, Bandung)
4. Kiai Anas, kiai Abbas, kiai Akhyas
5. Kiai Badruzzaman
6. Kiai Abdul Wahab Sya’roni
Ada satu contoh yang bisa menggambarkan tentang ADAB murid kepada gurunya, yaitu tentang Kiai Anas. Walaupun kiai Anas memperoleh ijazah pertama kali dan murid dari Syaikh AlFahasyim, namun ketika Syaikh AlFahasyim wafat dan digantikan oleh Syaikh Ali Thoyib, maka kiai Anas dengan ikhlas mengakui Syaikh Ali Thoyib sebagai guru (Pemimpin perguruan) beliau dan ber-ijazah untuk kedua kalinya. Kita bisa membayangkan bagaimana besarnya penghormatan Kiai Anas kepada Guru, walaupun sang guru seusia atau bahkan lebih muda usia. Itu adalah contoh ADAB yang mulia kepada Guru/SYAIKH, bagi yang meyakini bahwa tarekat Tijaniyah adalah AGUNG dan TINGGI.
Ketika Syaikh Ali Thoyib akan wafat, maka dari beberapa Muqaddam yang dipilih sebagai SYAIKH (Pemimpin perguruan) penerus adalah Kiai Usman Dhomiri. Maka sejak saat itu kiai Usman Dhomiri bergelar SYAIKH dan seluruh murid dan Muqaddam harus berkhidmat kepada SYAIKH yang baru, yaitu Syaikh Usman Dhomiri. Dengan menerima gelar SYAIKH, maka beliau menerima pula warisan Kitab JAWAHIRUL MA”ANI dan kitab2 yang lain termasuk 40 kitab yang berisi ilmu keduniawian.
Dalam perkembangan selanjutnya, bertambahlah murid beliau dan diangkatlah beberapa Muqaddam baru, di antaranya kiai Sudjatma Ismail (Bogor). Nah, di zaman kepemimpinan perguruan di bawah Syaikh Usman inilah terjadi benturan-benturan emosional yang sulit untuk mengakui Syaikh Usman sebagai Guru perguruan Tijaniyah, terutama dari beberapa Muqaddam yang jauh lebih sepuh usianya.
Dan hal ini akhirnya berlanjut menjadi semacam “Penyelewengan Kesetiaan” hingga kepada Syaikh yang berikut sampai sekarang. Syaikh Usman Dhomiri hanya mengangkat 4 (empat) orang Muqaddam, yaitu :
 1. Mualim KH Sudjatma Ismail
 2. Mualim KH Nu’man Dhomiri (Putra Syaikh Usman)
 3. Mualim KH Hasbulloh
 4. Mualim KH Musa Nasrudin 
Beberapa murid Syaikh Usman yang merupakan tokoh2 penting Indonesia, di antaranya adalah Presiden Soekarno, KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
Ada satu kejadian menarik di zaman Syaikh Usman, bahwa putra dari Syaikh Ali Thoyib pernah meminta beberapa Kitab (termasuk Jawahirul Ma’ani) agar diserahkan kepada beliau, tetapi Syaikh Usman menolak dengan keras. Tetapi anehnya putra dari Syaikh Ali Thoyib tersebut bisa mengadakan semacam perguruan Tijaniyah di tempat lain tanpa seizin Pemimpin Perguruan Tijaniyah; sesuatu di luar keladziman tarekat Tijani ( sebagai pengganti istilah ADAB).
Singkat cerita, ketika Syaikh Usman akan wafat, maka dari beberapa Muqaddam beliau yang dipilih sebagai SYAIKH (Pemimpin perguruan) penerus adalah Kiai Sudjatma Ismail. Maka sejak saat itu kiai Sudjatma Ismail bergelar SYAIKH dan seluruh murid dan MUQADDAM wajib berkhidmat kepada SYAIKH (Pemimpin perguruan) yang baru, yaitu Syaikh Sudjatma Ismail. Dengan menerima gelar SYAIKH, maka beliau menerima pula warisan Kitab JAWAHIRUL MA”ANI dan Kitab2 yang lain termasuk 40 kitab yang berisi 2000 ilmu keduniawian. Dalam perkembangan selanjutnya, bertambahlah murid beliau dan beliau mengangkat beberapa Muqaddam, di antaranya kiai Muhammad Syua’ib.
Singkat cerita, ketika Syaikh Sudjatma akan wafat, maka Muqaddam yang beliau pilih sebagai penerus Pemimpin perguruan Tijaniyah adalah kiai Muhammad Syua’ib. Maka sejak saat itu kiai Muhammad Syua’ib bergelar SYAIKH dan seluruh murid dan Muqaddam wajib berkhidmat dan tunduk kepada SYAIKH yang baru. Dengan menerima gelar SYAIKH, maka beliau menerima pula warisan Kitab JAWAHIRUL MA”ANI dan Kitab2 yang lain termasuk 40 kitab yang berisi 2000 ilmu keduniawian.
Syaikh Muhammad Syua’ib diangkat sebagai Syaikh dalam usia yang masih sangat muda, 30-an tahun
Di zaman Syaikh Sudjatma Ismail dan zaman Syaikh sebelumnya, aturan2 di dalam tarekat Tijaniyah sangat keras diberlakukan. Oleh karena itu, sebenarnya secara fakta ada beberapa murid dan Muqaddam yang tidak diakui lagi sebagai murid tarekat Tijani, alias dipecat, dan dicabut seluruh barokah dan manfaat ilmunya. Sebab musababnya berbagai macam; ada yang mencuri kitab, ada yang mengamalkan ilmu tanpa izin SYAIKH, ada yang berbohong, ada yang memfitnah SYAIKH atau mengadakan kegiatan perguruan di luar perguruan pimpinan SYAIKH.
Dan di zaman Syaikh Sudjatma dan zaman syaikh sebelumnya, seseorang belumlah diaku sebagai murid sebelum ijazah puasa 3 hari.
Jadi, kepada murid2 Tijaniyah dan saudara2 yang berminat tholaab ilmu Tijani, datangilah Muqaddam yang ada di kota/daerah anda untuk meminta ijazah tarekat, tetapi carilah Muqaddam yang sanad Ijazahnya tidak meragukan, bersambung secara jelas hingga kepada SYAIKH (Pemimpin Perguruan Tijaniyah) yang hidup, bukan saja sampai kepada sanad Syaikh yang sudah lama wafat. Kalau saudara ragu2, maka sebaiknya datangilah langsung SYAIKH di tempat beliau tinggal, itu lebih utama.
Seluruh SYAIKH tarekat- sanadnya MUTLAQ bersambung hingga kepada Rasulullah SAW. Dalam arti bahwa, semua SYAIKH tarekat adalah keturunan dari Rasulullah SAW, baik dari pihak Sayyidina Hussein r.a ataupun dari Sayyidina Hasan r.a, atau juga dari kedua-dua pihak.
Dalam tarekat Tijaniyah, SYAIKH diangkat secara KASYAF dan mewarisi seluruh ilmu Tijaniyah tanpa mempelajarinya. Yaa, secara logika saja, bila harus dipelajari/tholaab, maka 2000 ilmu itu akan memakan waktu yang sangat lama, bahkan setelah wafatpun belum tentu tamat. Para MUQADDAM dan MURID tidaklah mewarisi ilmu, tetapi THOLAAB ILMU, harus mengamalkan ilmu dengan syarat2 yang sudah ditentukan. Paling2 kita sebagai murid /muqaddam hanya kuat tamat 1-2 kitab (50-100 ilmu) saja sampai tutup usia.
Sebagai penutup ulasan, saya ingin mengingatkan diri kita akan perkataan Rasulullah SAW:
“Carilah ilmu (tholaab ilmu) sampai ke negeri Cina”, kita perumpamakan sebagai “tholaab-lah ilmu Tijani sampai ke negeri seberang”. Tetapi kita patut bersyukur, bahwa ada satu SYAIKH Tijani yang tidak jauh dengan tempat tinggal kita dan tidak perlu biaya yang mahal untuk mendatanginya. Bila saudara2 meyakini bahwa Tijaniyah itu kedudukannya AGUNG dan TINGGI, maka tak ada sesuatupun yang bisa menghalangi saudara2 untuk bertemu dengan SYAIKH yang menggenggam segudang ilmu, tentunya yang dimaksud adalah SYAIKH penerus dari SYAIKH yang sudah wafat. Kecuali, kita mempunyai kemampuan bertemu dengan SYAIKH yang sudah wafat tersebut dalam keadaan KASYAF. Jadi, setelah Syaikh Usman Dhomiri wafat, kepemimpinan perguruan dipegang oleh Syaikh Sudjatma Ismail (yg sebelumnya sebagai Muqaddam dari Syaikh Usman) dan kita wajib berkhidmat kepada SYAIKH yang baru. Dan setelah Syaikh Sudjatma wafat, kepemimpinan perguruan dipegang oleh Syaikh Muhammad Syua’ib sampai sekarang dan kita wajib berkhidmat kepada beliau. Lhaa, kalau nanti Syaikh Muhammad Syua’ib wafat, siapa yang memegang/meneruskan kepemimpinan?? Wallohu a’lam. Yang pasti seseorang dibai’at sebagai SYAIKH karena pilihan dan petunjuk dari Rasulullah SAW. Jadi, kalau kita memiliki ilmu KASYAF, bergurulah langsung kepada GURU BESAR yang sudah wafat: Sayyidi Syaikh Ahmad Tijani. Nggak perlu berguru kepada Syaikh Muhammad Al-Ghola hingga Syaikh Muhammad Syua’ib, apalagi berguru kepada murid2 yang tingkatannya hanyalah sebagai MUQADDAM. Mengapa penghormatan kita kepada MUQADDAM jauh melebihi penghormatan kepada SYAIKH (Pemimpin Perguruan Tijani)?
Bila kita ditakdirkan hidup sampai 500 tahun ke depan, maka kita pun harus tunduk dan berkhidmat kepada SYAIKH yang hidup 500 tahun mendatang.
By. Harun (http://luluvikar.wordpress.com/2004/08/22/tarekat-tijaniyah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar