Minggu, 23 Maret 2014

Kisah Ahli Qurro Masuk Thoriqot Tijani (Kitab Faidlur Rabbani)


الشيخ أبو نوفل : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فى المنام كأني أقبل يده الكريمة فقال لى صلى الله عليه وسلم : لم لم تـأخذ الطريقة التجـانية فقلت له يـآ سيدي يـآ رسول الله أنا آخذ للطريقة القادرية فـأعـاد عليّ مرّةً أخرى قائلاً : لم لم تأخذ الطريقة التجـانية فقلت له يآ رسول الله أنا عندي إذنٌ فى إعطاء أوراد القدرية هاهو فقال رسول الله : قلت لك : لم لم تأخذ الطريقة التجـانية فقلت يـآ سيدي وممن آخذ الطريقة التجـانية؟ فقال لى خذها من أحد الرجلين إمّا من السيد محمد الحافظ التجـاني أو من السيد محمد السيد التجـاني والسيد حمد السيد التجـاني قريبٌ منك فسلم لى عليه وقل له : رسول الله يسلم عليك ويقول لك إعط الإذن بقرآة الطريقة التجـانية وقد جئت إليك لتعطيني الإذن بقرأة أورادها فأذنه بقرأتـها بعد قبوله لشروط سلوكهـا
.
berkata salah satu ahli Qurro' al-Qur'an. Syeikh Abu Noufal : aku bermimpi melihat Rosulullah SAW dalam tidur. Aku seolah-olah mencium tangan beliau saw., yang mulia maka Beliau SAW bersabda kepadaku : kenapa engkau tidak mengambil Thoriqoh Tijaniyyah. Aku jawab : wahai Penghuluku, wahai Rosulullah SAW saya telah mengambil ijazah Thoriqoh Qodiriyyah. lalu Beliau SAW mengulangi lagi ucapannya kedua kalinya seraya bersabda . kenapa engkau tidak mengambil ijazah Thoriqoh Tijaniyyah. kemudian aku jawab lagi : Wahai Rosulullah SAW saya sudah memiliki izin diberi wirid Thoriqot Al-Qodiriyyah dan ini bukti izinya. Lalu Rosulullah SAW menegaskan kembali sabdanya : Aku katakan padamu : kenapa kamu tidak mengambil ijazah Thoriqoh Tijaniyyah. terus aku mulai bertanya : Wahai Penghuluku  (kalau begitu) kepada siapa orang yang berhak aku ambil (ijazah shohih) Thoriqoh Tijani. maka Beliau bersabda kepadaku : Ambilah dari salah satu dari dua orang syekh tijani. pertama, Syekh Muhammad al-Hafidz al-Tijani atau dari Syekh Muhammad al-Sayyid al-Tijani. namun Syekh Muhammad al-Sayyid al-Tijany mempunyai kedekatan kepadamu. dan sampaikan salamku padanya. kemudian ia (Syekh Naufal) berkata kepada Syekh Muhammad Sayyid al Tijani : "Rosulullah SAW menyampaikan salam atasmu. terus ia mengatakan lagi padanya : Berikanlah padaku izin shohih membaca wirid Thoriqoh al-Tijaniyyah. Sungguh kedatanganku kemari agar engkau memberiku izin shohih membaca wirid Thoriqoh al-Tijaniyyah. lalu Sayyid Muhammad sayyid At Tijani memberikan izin shohih setelah ia (Syeikh Abu Noval) menerima syarat-syarat dalam pengamalan mengamalkan Thoriqoh al-Tijaniyyah 

Senin, 17 Maret 2014

Lintasan Sejarah Al Manak Hijriyah By. Budi Ali Hidayat / Ketua Pokjahulu Kemenag Kota Cimahi





A.    Al Manak Arab Pra Hijriyah
Sebelum datangnya Islam, di tanah Arab dikenal sistem kalender berbasis campuran antara Bulan (qamariyah) maupun Matahari (syamsiyah). Peredaran bulan digunakan, dan untuk mensinkronkan dengan musim dilakukan penambahan jumlah hari (interkalasi).
Pada waktu itu, belum dikenal penomoran tahun. Sebuah tahun dikenal dengan nama peristiwa yang cukup penting di tahun tersebut. Misalnya, tahun dimana Muhammad lahir, dikenal dengan sebutan "Tahun Gajah", karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka'bah di Mekkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Yaman (salah satu provinsi Kerajaan Aksum, kini termasuk wilayah Ethiopia). Di kalangan bangsa Arab sendiripun ada berbagai-bagai kalendar yang digunakan seperti Kalendar Tahun Gajah, Kalendar Persia, Kalendar Romawi dan kalendar-kalendar lain yang berasal dari tahun peristiwa-peristiwa besar Jahiliah.
Ketika Nabi Muhammad saw., diangkat menjadi Rasul Allah, walaupun belum ada penanggalan almanac secara tertulis namun, penyebutan bulan-bulan pada hijriyah dan jumlah bulan sudah ada pada jamannya sesuai dengan wahyu yang beliau terima juga sabda-sabdanya dalam hadits.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ‏‎ ‎اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي‎ ‎كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ‏‎ ‎السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا‎ ‎أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ‏‎ ‎الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا‎ ‎فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya
”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36).
Dua belas bulan yang diterangkan dalam ayat ini adalah bulan-bulan yang sudah diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin. Yaitu Muharam, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqadah dan Dzulhijjah.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ‏‎ ‎كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ‏‎ ‎السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ،‏‎ ‎السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ،‏‎ ‎مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ،‏‎ ‎ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو‎ ‎الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ‏‎ ‎وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ‏‎ ‎الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى‎ ‎وَشَعْبَانَ
Artinya
”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”    Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.
Salah satu bukti terhadap hal ini adalah adanya perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya untuk melihat hilal dalam menentukan bulan Ramadhan dan Syawwal. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Artinya
“Apabila kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah. Namun bila mendung menghalangi kalian, perkirakanlah.”  (Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ‏‎ ‎رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ‏‎ ‎الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ‏‎ ‎الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ‏‎ ‎صَلاَةُ اللَّيْلِ

Artinya
”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” 
 Rasulullah saw., bersabda :
فَقَالَ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ
Artinya
”Bulan itu begini dan begitu, kemudian beliau menekuk salah satu jempolnya yang ketiga, maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah. Namun bila mendung menghalangi kalian, maka, perkirakan dengan 30 hari ”(HR. Muslim).
Maksud hadits diatas sebulan itu ada yang 29 hari dan beliau juga pernah menunjukkan jari 10 tiga kali berarti ada 30 hari.

B.    Lintasan Sejarah Al Manak Hijriyah
Ketika sahabat Rasulullah saw.,  yakni, Abu Bakar Sidik wafat, Ibu Kota Negara Madinah sebagai pusat kendali kepemimpinan dilimpahkan kepada Amirul Mukminin Umar Bin Khathab.  Seiring beliau menjabat sebagai Kepala Negara hingga tahun ke lima beliau menerima surat dari seorang Gubernur di Negeri Kuffah yakni Musa Al As’ari Gubernur Kuffah, adapun isi suratnya adalah sebagai berikut :Artinya: Telah menulis surat Gubernur Musa Al As’ari kepada Kepala Negara Umar bin Khothob. Sesungguhnya telah sampai kepadaku dari kamu beberapa surat-surat tetapi surat-surat itu tidak ada tanggalnya.
Akhirnya, pada tahun 638 M (17 H),  Khalifah Umar bin Khathab mengumpulkan para tokoh, ahli perbintangan dan para shahabat yang ada di Madinah.  Didalam  musyawarah itu membicarakan rencana  pembuatan Almanak Islam. Muncul berbagai pendapat dikalangan sahabat yang bermusyawarah, yaitu :
•    Pendapat pertama berpandangan bahwa bahwa pembuatan tarikh/almanak Islam dimulai dari tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW.
•    Pendapat kedua berpandangan bahwa pembuatan almanac dimulai pengangkatan Nabi Muhammad menjadi Rasul.
•    Pendapat ketiga ketika Isro Mi’raj Rasulullah saw .
•    Pendapat keempat ketika wafatnya Nabi Muhammad SAW.
•    Pendapat kelima berpandangan sebaiknya pembuatan diawali semenjak hijrahnya Rasulullah dari Mekkah ke Madinah, ini merupakan pendapat Saidina Ali.,
Namun silang pendapat ini tidak berjalan lama, setelah sebagian besar dari kalangan sahabat seperti Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu ‘anhum ajma’in sepakat, bahwa tahun baru Islam dimulai dari bulan Muharram kemudian kalender Islam tersebut dinamakan Tahun Hijriyah. Setelah ditentukannya awal perhitungan tahun Islam, terjadi silang pendapat untuk menentukan bulan apa yang dipakai sebagai sebagai permulaan tahun baru. Ada yang berpendapat Rabi’ul Awwal, karena di waktu itu dimulai perintah hijrah dari Makkah ke Madinah. Pendapat lain mengatakan bulan Ramadhan, karena di bulan itu diturunkannya Al-Qur’an.
Kenapa bulan muharam merupakan awal bulan pada tahun hijriyah ? Pada bulan Muharam itu banyak hal-hal atau aktifitas yang diharamkan. Di antaranya tidak boleh mengadakan peperangan, kecuali dalam keadaan diserang maka diperbolehkan melawannya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
Artinya
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah), dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan. Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 191)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Artinya
“Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu maka seranglah ia seimbang dengan seranganya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 194)  Dari sinilah dikatakannya Muharram sebagai bulan haram .
Jika kita lihat dari beberapa kalender yang menyebar di zaman kita, di sana tertulis pengganti Muharram  ini dengan istilah Syura. Kata ini pun sering kita dengar di masyarakat awam. Wallahu a’lam, mungkin persepsi ini muncul dari suatu hadits Rasulullah yang menerangkan keutamaan puasa di hari Asyura. Para ulama bersilang pendapat, apakah kata Asyura merupakan bahasa Arab atau bukan. Pendapat yang benar adalah kata ini didengar dari bangsa Arab sehingga ia dikategorikan sebagai bahasa Arab. Kata Asyura menurut sebagian berasal dari kata Asyir yang artinya kesepuluh (hari kesepuluh di bulan Muharram).
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa di hari Asyura (kesepuluh) dan beliau memerintahkan untuk berpuasa padanya.” 
C.    Al Manak Hijriyah
    Almanak Hijriyah dalam bahasa Arab: التقويم الهجري; at-taqwim al-hijr),  adalah 1).  Penanggalan ; Kalender; 2). buku berisi penanggalan dan karangan-karangan yang perlu diketahui umum, biasanya terbit sekali setahun -- dinding penanggalan yang biasanya digantungkan atau ditempelkan di dinding; -- pelayaran almanak untuk pelayaran, berisi catatan tentang kejadian astronomi seperti posisi matahari, bulan, planet, dan bintang setiap saat, siang dan malam sepanjang tahun. 1). Penanggalan yaitu Daftar Hari, Minggu, Bulan, Hari-Hari Raya dalam setahun yg disertai dengan data keastronomian, ramalan cuaca.
Adapun yang dimaksud Almanak Hijriyah atau Taqwim Hijriyah/Qomariyah, adalah peristiwa penanggalan tahun dimana terjadi peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam, Kalender Hijriyah juga digunakan sebagai sistem penanggalan daftar hari, bulan, hari Raya, waktu shalat, arah qiblat, gerhana, Hilal juga waktu dalam setahun yg disertai dengan data keastronomian. Sedangkan almanak dalam arti buku berisi penanggalan dan karangan yg perlu diketahui umum, biasanya terbit tiap tahun -- dinding penanggalan yg biasanya digantungkan atau ditempelkan di dinding; -- meja penanggalan yg biasanya ditaruh di atas meja; -- pelayaran almanak untuk pelayaran yg berisi catatan tt kejadian astronomi, spt posisi matahari, bulan, planet, dan bintang setiap saat, siang dan malam sepanjang tahun. Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (kalender Masehi) yang menggunakan peredaran matahari.

Terdapat perbedaan pendapat  pakar astronomi Islam dalam  memberikan pengertian bahwa, tanggal 1 hijriyah pada bulan Muharam adalah jatuh pada hari kamis tanggal 15 Juli 622 M (kalender sistem Julian) atau tanggal 19 Juli tahun 622 (Kalender Sistem Gregorian),.  Hal ini didasarkan  atas hisab, sebab  hilal pada hari Rabu 14 Juli 622 M sudah diatas ufuk 5 0 57’. Adapun  menurut perhitungan rukyat adalah hari Jum’at tanggal 16 Juli 622 M. Hal ini didasarkan atas rukyat  walaupun  hari Rabu tanggal, 14 Juli 622 M., hilal sudah irtifa’ diatas ufuk 5 0 57’ namun tidak ada seorang pun yang melihat hilal. 
Dalam Almanak Qamariyah, terdapat 12 bulan. Setiap bulan mengandungi 29 atau 30 hari, tetapi lazimnya tidak dalam urutan yang tetap.. Adapun setahun ada yang dinamakan Tahun Bashithoh yakni jumlah bulan 354 hari, juga ada yang dinamakan Tahun Kabisat yakni jumlah bulan 355 hari. Dalam daur 30 tahunan ada 11 Tahun kabisat adalah setiap tahun yang ketika dibagi 30 sisanya 2, 5, 7, 10, 13, 15,18, 21, 24, 26, dan 29.  Sedangkan tahun basithah adalah setiap tahun yang ketika dibagi 30 sisanya 1, 3, 4. 6, 8, 9, 11, 12, 14, 16, 17, 19, 20, 22, 23, 25, 27, 28, 30.  Adapun untuk tahun-tahun yang kurang dari 30, maka tahun-tahun tersebut dianggap sisa.
    Pananggalan bulan dalam Hijriyah dihitung menurut ilmu hisab dan rukyat. Ilmu Hisab sebagai alat untuk membantu proses merukyat hilal diakhir bulan atau ketika Ijtima (konjungsi) nya matahari dan bulan. Penentuan awal bulan (New Moon) ditandai dengan munculnya penampakan (visibilitas) Bulan Sabit pertama kali (hilal) setelah bulan baru (konjungsi atau ijtimak). Pada fase ini, Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari, sehingga posisi hilal berada di ufuk barat. Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, maka jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari (istikmal).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan pengamatan hilal secara langsung (rukyatul hilal) Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari, dan mana yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal. Sebagian yang lain lagi berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Metode hisab juga memiliki berbagai kriteria penentuan, sehingga seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadan atau Hari Raya Idul Fitri.
     Sistem Hisab Urfi atau disebut juga dengan Hisab Istilahi berdasarkan siklus rata-rata sinodis bulan 29.53059 hari., dihitung rata-rata hisab urfi dari :
(11) x 255) + (19 x 355) = 10.631 hari = 29.530556 hari
             30 x 12                        360
(bandingkan dengan satu bulan sinodis rata-rata = 29.53059 hari)
    Kalender qamariyah biasanya digunakan untuk keperluan aktivitas keagamaan yang memerlukan ketepatan hari yang bisa dilihat di alam (Soal: Mengapa tidak dapat menggunakan kalender syamsiah?). Hampir semua agama menggunakan kalender qamariyah. Agama Islam, Budha, dan Hindu  murni menggunakan kalender qamariyah dalam aktivitas keagamaannya, misalnya Idul Fitri setelah bulan sabit pertama, Waisak saat bulan purnama, dan Nyepi saat bulan mati. Kristen/Katolik, Yahudi, dan Kong Hu Chu menggunakan sistem campuran, misalnya Paskah adalah hari Minggu setelah purnama pada awal musim semi, Imlek adalah setelah bulan mati pada musim hujan (Januari/Februari) .

Allah SWT berfirman :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَـاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنــَازِلَ لِتَعْلَـمُوا عَدَدَ السِّنِـينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَـاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya
”Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui”(QS. Yunus: 5).
Taqwim Hijriyah terdiri dari 7 hari. Semua hari berawal dari terbenamnya matahari berbeda dengan Kalender Masehi yang mengawali hari pada saat tengah malam. Berikut adalah nama-nama hari:  al-Ahad (Minggu), al-Itsnayn (Senin), ats-Tsalaatsa' (Selasa), al-Arba'aa / ar-Raabi' (Rabu), al-Khamsatun (Kamis), al-Jumu'ah (Jumat) dan as-Sabat (Sabtu). 
Sumber Rujukan : Buku Pelajaran Ilmu Falak 1 Karya Budi Ali Hidayat, S.HI

Sidi Syekh Muhammad Al Gholla ra


Sidi Syekh Muhammad al-Ghali  ra was one of the elite companions of Shaykh Ahmad Tijani and a descendent of the Prophet Muhammad through Sayyidina Hassan. According to Shaykh Ahmad Sukayrij, Sidi al-Ghali was one of ten companions of Shaykh Tijani whom Allah blessed with the grand illumination (fath al-akbar) at the hand of the Prophet Muhammad. Shaykh Tijani was very fond of Sidi al-Ghali, and it was him whom he called to pronounce the famous words, “These two feet of mine are on the shoulders of every saint of Allah.” Shaykh Tijani also let it be known that it would necessary for Muhammad al-Ghali to perform the funeral prayer over him when he passed. At the time of Shaykh Tijani’s passing, however, Muhammad al-Ghali was traveling. Upon burial, the children of the Shaykh dug up the body of their father to take it back to Algeria. When the disciples in Fes prevailed upon the noble descendents of the Shaykh to let the blessed body be reburied in the Zawiya in Fes, Muhammad al-Ghali was there to perform the final funerary rites – thus fulfilling the prediction of Shaykh Tijani.
Muhammad al-Ghali was endowed with immense spiritual zeal and concentration. He used to spend hours in his prayers and remembrances; and it is reported he used to glorify Allah twenty-seven times in a single prostration. He once was so deep in concentration during his litany that he failed to notice his own daughter fall off the roof of his house in front of him. Once, one of his disciples happened to visit him after he had just finished his remembrances. The disciple noticed Sidi al-Ghali’s body was strangely hot, as if he was in the midst of a steam bath. When he touched his hand, the disciple felt his hand burned as if he were touching hot coals. Shaykh Sukayrij explained, “Such a phenomenon is not uncommon among the people of Truth, considering what they are authorized to recite. Some may burn their tongue uttering the Magnificent Name.”
Among his visionary encounters was a meeting with the Prophet Muhammad, who told him, “You are the son of the beloved one of Allah, and you taken the spiritual path of the beloved one of Allah.” He also met Shaykh Ahmad Tijani after his passing and asked him, “O Sidi! You went away and left us alone!” The Shaykh replied, “I am not distant from you and I did not leave you; I have only moved from an earthly dwelling place to an abode of light.”
After his training with Shaykh Tijani, Sidi al-Ghali went to the Hijaz to propagate the Tariqa. There he met al-Hajj Umar al-Futi, trained him and granted him license to spread the Tariqa Tijaniyya in West Africa. Al-Hajj Umar’s Kitab al-Rimah describes Muhammad al-Ghali as being in frequent visionary contact with the Prophet and Shaykh Ahmad Tijani and traveling often between Mecca and Medina.
Sidi al-Ghali died in 1244 (1829) in Mecca, and was buried in the same graveyard as Sayyida Khadija, the wife of the Prophet Muhammad.
Sources: Ahmad Sukayrij, Kashf al-Hijab; Umar al-Futi, Kitab al-Rimah.
Sidi Syekh Muhammad al - Ghali adalah salah satu sahabat elit Syaikh Ahmad Tijani dan keturunan Nabi Muhammad melalui Sayyidina Hassan . Menurut Syaikh Ahmad Sukayrij , Sidi al - Ghali adalah salah satu dari sepuluh sahabat Syaikh Tijani yang Allah diberkati dengan grand iluminasi ( fath al - akbar ) di tangan Nabi Muhammad . Syaikh Tijani sangat menyukai Sidi al- Ghali , dan itu dia yang ia dipanggil untuk mengucapkan kata-kata terkenal , " Kedua kaki saya berada di pundak setiap orang kudus Allah . " Syaikh Tijani juga membiarkan orang tahu bahwa itu akan diperlukan untuk Muhammad al- Ghali untuk melakukan doa pemakaman di atasnya ketika ia melewati . Pada saat meninggalnya Syaikh Tijani , bagaimanapun , Muhammad al- Ghali bepergian . Setelah pemakaman , anak-anak dari Syekh menggali tubuh ayah mereka untuk membawanya kembali ke Aljazair . Ketika murid-murid di Fes menang atas keturunan mulia dari Syekh untuk membiarkan tubuh diberkati akan dimakamkan kembali di Zawiya di Fes , Muhammad al- Ghali berada di sana untuk melakukan ritual penguburan akhir - sehingga memenuhi prediksi Syaikh Tijani .Muhammad al - Ghali yang diberkahi dengan semangat spiritual yang besar dan konsentrasi . Ia digunakan untuk menghabiskan berjam-jam dalam doa dan kenangan itu , dan dilaporkan ia digunakan untuk memuliakan Allah dua puluh tujuh kali dalam sujud tunggal . Dia pernah begitu tenggelam dalam konsentrasi selama litani bahwa ia gagal untuk melihat putrinya sendiri jatuh dari atap rumahnya di depannya . Sekali , seorang murid-Nya terjadi untuk mengunjunginya setelah ia baru saja selesai kenangan nya . Murid itu melihat tubuh Sidi al- Ghali yang anehnya panas , seolah-olah ia berada di tengah-tengah mandi uap . Ketika ia menyentuh tangannya , murid merasa tangannya terbakar seolah-olah dia menyentuh bara panas . Syaikh Sukayrij menjelaskan , " Fenomena seperti ini tidak jarang di antara orang-orang dari Kebenaran , mengingat apa yang mereka berwenang untuk membaca . Beberapa mungkin membakar lidah mereka mengucapkan Nama Magnificent . "Di antara pertemuan visioner adalah pertemuan dengan Nabi Muhammad , yang mengatakan kepadanya , " Anda adalah putra tercinta satu Allah , dan Anda mengambil jalan spiritual yang tercinta satu dari Allah . " Dia juga bertemu Syaikh Ahmad Tijani setelah ia lewat dan bertanya kepadanya , " O Sidi ! Anda pergi dan meninggalkan kami sendirian " Syaikh menjawab , " Saya tidak jauh dari Anda dan aku tidak meninggalkan Anda ; ! . Saya hanya pindah dari tempat tinggal duniawi untuk tempat tinggal cahaya "Setelah pelatihan dengan Syaikh Tijani , Sidi al - Ghali pergi ke Hijaz untuk menyebarkan tarekat . Di sana ia bertemu dengan al- Hajj Umar al - Futi , melatihnya dan diberikan kepadanya izin untuk menyebarkan tarekat Tijaniyyah di Afrika Barat . Al -Hajj Umar Kitab al - Rimah menggambarkan Muhammad al - Ghali sebagai sering kontak visioner dengan Nabi dan Syaikh Ahmad Tijani dan perjalanan sering antara Mekkah dan Madinah .Sidi al - Ghali meninggal pada 1244 (1829) di Mekkah , dan dimakamkan di pemakaman yang sama seperti Sayyida Khadijah , istri Nabi Muhammad .
Sumber : Ahmad Sukayrij , Kashf al - Hijab , Umar al - Futi , Kitab al - Rimah

Kamis, 13 Maret 2014

Saiduna wa Syaikhuna Ustman Dhomiri Rodliyallohu 'anhu


                                                  Foto Syekh Usman Ketika masih Muda 

Sayyidi Syeikh Ustman Dhomiri lahir di Hadramaut Yaman selatan, orangtua beliau (Bapak), Sayyidi Syeikh Utsman Dhomiri benama Syeikh Yahya yang berasal dari Hadramaut Yaman Selatan, menikahi putri dalem kasultanan Yogyakarta, sehingga gelar tertanam didepan nama beliau dan anak,cucu beliau, dalam mengembangkan Thoriqohnya Sayyidi Syeikh Utsman sangat unik bukan dengan mendirikan pesantren, melainkan dengan cara mengajar kesenian beladiri dengan disisipkan ajaran-ajaran tasawwuf dan ajaran thoriqohnya.

Sebelum memegang Thoriqoh Tijaniyah beliau Sayyidi Syeikh Utsman Dhomiri sudah memegang kurang - lebih 41 Thoriqoh yang hampir kesemuanya beliau adalah Mursid Thoriqoh tersebut. Pertemuan dengan Sayyidi Syeikh Ali At'thoyib lah yang menghantarkan beliau memegang thoriqoh Tijaniyah.
Bukan hal perkara mudah untuk membawa Sayyidi Syeikh Utsman Dhomiri kedalam Thoiqoh At'Tijaniyah disamping ilmu agama yang cukup mempuni baik Quran, Hadist, Kitab, beliau adalah tokoh yang khasirmatik, disegani oleh kawan maupun lawan.

Datang seorang murid beliau, sehabis melaksanakan haji di tanah suci Mekkah, yang sebelumnya murid beliau itu bertemu dengan seseorang di tanah suci Mekkah, menanyakan asal dan gurunya adalah siapa ?.. dan dijawablah oleh murid beliau bahwa guru saya adalah Sayyidi Syeikh Utsman Dhomiri, maka orang tersebut memberikan salam kepada sang murid Sayyidi Syeikh dengan cara menjabat tangan sang murid beliau dengan maksud untuk mencium harumnya tangan orang tersebut. sesampai ditanah air hal tersebut disampaikan oleh gurunya yaitu Sayyidi Syeikh Utsman Dhimiri, terkejutlah Sayyidi syeikh bahwa harum tangan si murid yang dijabat oleh seseorang ditanah suci Mekkah tidak hilang bahkan lebih semerbak harumnya meliputi seluru ruangan, dan Sayyidi Syeikh mengenali harum tersebut tak lain adalah harumnya Rasulullah.
Maka beliau Sayyidi Syeikh Utsman Dhomiri segera mencari Sayyidi Syeikh Ali At'thoyib untuk meminta talqin Thoriqoh At'tijaniyah, lebih terkejut lagi beliau atas pernyataan Sayyidi Syeikh Ali At'thoyib bahwa beliau belum cukup pantas untuk mentalqin thoriqoh kepada Sayyidi Syeikh Ustman Dhomiri.



                                       Kemursyidan Syekh Usman Dhomiri dalam Thoriqot Tijani

Dalam kesempatan Syeikh Utsman Dhomiri pergi ketanah suci Mekkah, sewaktu beliau Syeikh Utsman Dhomiri berziarah ke makam Rasulullah, dan bertemulah beliau Syeikh Utsman Dhomiri dengan Rasulullah menanyakan hal ikhwal tentang perjumpaan dengan sang murud ditanah air, maka memintalah Syeikh Utsman Dhomiri ditalqin wirid thoriqoh AT'Tijaniyah namun permintaan Syeikh Utsman ditolak dengan berkata " Bukan saya yang akan mentalqin mu ya Utsman Dhomiri melainkan wasilah mu orang yang ada dibelakang mu' selagi menoleh kebelakang ternyata orang tersebut adalah Sayyidi Syeikh Ali At'toyib.
dimintalah Sayyidi Syeikh Ali At'thoyib untuk memberikan aurod thoriqoh Attijaniyah kepada Sayyidi Syeikh Utsman Dhomiri di saksikan Rasulullah, didepan makam Rasulullah. maka mulai saat itu hingga tulisan ini dibuat Sayyidi Syeikh Utsman Dhomiri menjadi pengamal aurod At'tijaniyah, meyebarkan thoriqoh At'tijaniyah dan meninggalkan aurod thoriqoh - thoriqoh yang lainnya secara total, dikarenakan aturan wajib sebagai pemegang aurod Attijaniyah tidak boleh menduakan wirid-wirid wajibnya. Pesan Sayyidi Syeikh Utsman Dhomiri kepada murid-muridnya adalah menjaga / meramaikan Zawiyah di cimahi Bandung, tetap selalu Istiqomah menjaga mengamalkan wirid thoriqoh Tijani, waro, tawadhu, dan saling asah-asih-asuh sesama ashab (panggilan sesama pemegang thoriqoh Tijani yang bersanad kecimahi).

Silsilah Robithoh Sidi Syekh Usman Dhomiri ra :

Saidi Syekh Al Hajj Ustman Dhomiri dari Saidi Syekh Ali Ath Thoyyib Al Hasani dari Saidi Syekh Muhammad Al Hasyimi (Syekh Alfa Hasyim) dari Saidi Syekh Sa'id dari Saidi Syekh Umar bin Sa'id Al Futi (Muallaf Kitab Ar Rimah) dari Saidi Syekh Muhammad Al Ghola dari Saidi Syekh Ahmad At Tijani Al Quthbul Al Maktum dari Saiduna Muhammadur Rosululloh saw., 




Susunan silsilah masyayikh/khalifah (para syaikh) yang kami pegang dari Sidi Syekh Muhammad Syuaib ra hingga ke Sidi Syekh Usman Dhomiri Cimahi dan itu selalu dibaca bila memulai wirid tertentu, yaitu :

1. Syaikh Ahmad At-Tijani
2. Syaikh Muhammad Al-Ghola
3. Syaikh Muhammad Al-Fahasyim
4. Syaikh Ali Thoyyib
5. Syaikh Usman Dhomiri
6. Syaikh Muhammad Sudjatma Ismail
7. Syaikh Muhammad Syuaib

Pengganti dari Syaikh Ahmad Tijani disebut sebagai Khalifah, yaitu penerus perjuangan Syaikh Ahmad Tijani. Para khalifah tersebut dibantu oleh banyak muqaddam yang tersebar di beberapa tempat (daerah). Beberapa murid yang dikenal kedudukannya sebagai muqaddam di antaranya : KH. Badruzzaman ( wilayah Garut & sekitarnya dan KH. Abbas (wilayah Cirebon & sekitarnya), juga para muqaddam di wilayah lain seperti Sukabumi, Banten, dll. Untuk mengajarkan ilmu kepada orang lain para muqaddam harus seizin khalifah, pun untuk setiap ilmu dari tarekat Tijani untuk setiap orang harus seizin khalifah. Bila khalifah meninggal dunia maka para muqaddam harus bermakmum/berkhidmat kepada khalifah baru yang ditunjuk secara spiritual oleh khalifah sebelumnya. Hal ini wajib dilakukan untuk menunjukkan adab dan ketaatan seorang murid kepada khalifah. Mungkin anda mengetahui bahwa tarekat Tijani sangat menjunjung tinggi adab kepada khalifah Rasulullah/guru, dalam hal ini khalifah dalam tarekat Tijani. Sampai-sampai seorang Tijaniyah dilarang keras berziarah kepada wali-wali selain wali-wali Tijaniyah.
Dari keenam khalifah di atas, 3 orang terakhir adalah berasal dari Indonesia, yaitu Syaikh Usman Dhomiri Al-Attas (keturunan Arab), Syaikh Sudjatma dan Syaikh Muhammad Syuaib. Syaikh Usman bertemu dan diangkat sebagai murid Syaikh Ali Thoyyib di Mekkah ketika beliau sedang menimba ilmu di sana. Selepas belajar di Madinah, Syaikh Usman pulang ke Cimahi untuk menyebarkan tarekat. Beberapa waktu kemudian Syaikh Ali Thoyyib datang ke Indonesia dan melimpahkan pundak kekhalifahan Tijaniyah kepada murid pilihan, yaitu Syaikh Usman. Begitu pula seterusnya ketika sudah jatuh waktunya, Syaikh Usman memberikan tugas kekhalifahan kepada murid terpilih, yaitu Syaikh Sudjatma (Bogor). Dan dari Syaikh Sudjatma diteruskan kepada murid pilihan, yaitu Syaikh Muhammad Syuaib sampai sekarang. Jadi penunjukan syaikh-syaikh dalam tarekat Tijaniyah khususnya, tidaklah berdasarkan keturunan, tetapi penunjukan langsung oleh Rasulullah SAW secara KASYAF disaksikan oleh masyayikh sebelumnya.

Amalan dasar seorang pengikut tarekat Tijani adalah wirid Ladzimah, yang lazim dibaca bada sholat Subuh dan bada sholat Ashar. Di atas itu adalah wirid wadzifah wa hailalah, yang dibaca setiap hari Jumat. Yang paling tinggi adalah Al-Jauharotul Kamal (Mutiara Kesempurnaan). Untuk sampai kepada Al-Jauharotul Kamal harus melewati beberapa tingkatan, di antaranya beberapa puasa. Di dalam ajaran Tijaniyah puasa dimulai dari yang 3 hari, 10hari, 45 hari hingga puasa 100 hari, dan yang terakhir puasa 3 tahun. Jadi tidak seperti makan cabe langsung terasa pedasnya. Ada juga wirid-wirid tertentu untuk tujuan tertentu, seperti hizb Al-Bahr (untuk keduniawian/rezeki), wirid untuk bertemu Rasulullah saw, wirid untuk ketabiban, wirid untuk perang, dan lain-lain yang semuanya itu harus melewati beberapa tingkatan.

Bila seorang murid hingga meninggal dunia hanya mempunyai wirid dasar yaitu Ladzimah, itu pun sudah mencukupi, karena Rasululllah saw. pernah bersabda bahwa bila seorang murid melazimkan wirid hingga meninggal dunia maka dia, istri-istri dan anak-anaknya, berikut kedua orang tuanya akan dimasukkan surga tanpa hisab; tidak akan mengalami pertanyaan di kubur, tidak akan mengalami huru-hara di padang mahsyar dan melewati shirat secepat kilat. Dan tidak akan meninggal seorang murid kecuali dalam kedudukannya sebagai seorang wali. Oleh karena itu pula seorang murid Tijani dilarang keras berziarah kepada wali-wali yang lain.

Segudang ilmu terdapat di dalam tarekat Tijani, baik ilmu keakhiratan, ilmu dunia (rezeki, kewibawaan, dll), ilmu tentang perang , pengobatan dll. Ilmu-ilmu tentang keduniawian dihimpun dalam 40 kitab, yang setiap kitabnya memuat/mengajarkan 50 ilmu. Jadi ilmu-ilmu keduniawian ada sekitar 2000 ilmu. Seluruh kitab-kitab Tijaniyah yang diwariskan oleh Asy-Syaikh Al-Mukarrom Ahmad At-Tijani terdapat di majelis Bogor, dalam genggaman khalifah yang sekarang Asy-Syaikh Hadji Muhammad Syuaib. Bila saudara hendak mengetahui seluruh kitab-kitab ukhrowi & dunya Tijaniyah, silakan datang ke majelis Bogor. DAN, bila saudara hendak mencari seorang Syaikh Tijani yang menggenggam seluruh ilmu hikmah, silakan datang ke majelis Bogor dan belajarlah tarekat secara BENAR dan ADAB

Daftar Pustaka :
(Sumber Duriah Sayyidi Syeikh Utsman Dhomiri., attijaniyah bekasi@wordfress.com)
(sumber HARUN PRIBADI tijani121@gmail.com )


Senin, 10 Maret 2014

Penghulu Budi Ali Hidayat, S.HI., MA

Biografi Mualim 
Penghulu Budi Ali Hidayat, S.HI., MA
(Penghulu Muda/Muqoddam Thoriqot Tijani Cimahi)

Penghulu Muda/Muqoddam Thoriqot At Tijani Al Usmaniyah Al Isma'iliyah Asy Syuaibiyah :

Budi Ali Hidayat dari Saidi Syekh Al Hajj Muhammad Syuaib dari Saidi Syekh Al Hajj Muhammad Sujatma Al Ismail dari Saidi Syekh Al Hajj Ustman Dhomiri dari Saidi Syekh Ali Ath Thoyyib Al Hasani dari Saidi Syekh Muhammad Al Hasyimi (Syekh Alfa Hasyim) dari Saidi Syekh Sa'id dari Saidi Syekh Umar bin Sa'id Al Futi (Muallaf Kitab Ar Rimah) dari Saidi Syekh Muhammad Al Ghola dari Saidi Syekh Ahmad At Tijani Al Quthbul Al Maktum dari Saiduna Muhammadur Rosululloh saw.,  

ini putra dari seorang Pensiunan Penghulu dan Tokoh Ulama Mathla’ul Anwar (Ahli Falak) di Kota Cimahi . Silsilah beliau didapat dari tulisan yang turun temurun dari kakek/nenek dan cerita bapak beliau., di dalam kertas yang sudah lama menjelaskan tentang silsilah Arab, Pajajaran, Mama Sukapura,  (Wallohu Alam ).

Silsilah dari Pihak Bapak : Penghulu H. Muh. Endang Djadjuli. bin Penghulu H.R. Ma'mun Qoyyidi s.d  Mama Sukapura., Silsilah dari Ibu :  Hj. Siti E. Badriyah binti KH. R. Edi Junaedi (Mama Bunder Cililin) s.d Sunan Gunung Djati., Silsilah dari Nenek : Hj. Siti Ruhamah binti R.H. Abdul Muhyi Fatmadinata (Abah Bodas Cililin)  s.d  Syekh Mansyur Banten

Dilahirkan  di Bandung, 10 Desember 1976.  Pendidikan Formal yang ditempuh ; TK. Karya Pembangunan (Th. 1982)., SD Karsawinaya (Th. 1988) di Cimahi, Mts Ponpest. Baitul Arqom (Th. 1991), MA Ponpest. Baitul Arqom (Th. 1994) . Meraih gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) dari Fakultas Syari’ah Ahwal Ash Shakhshiyah IAIN ”SGD” Bandung (Th. 2002).  

Menikah dengan Siti Sopiah Makkih Putri dari KH Asep Bahrudin Makkih (Alm) Pest. Jati Cihanjuang., cucu dari seorang Ulama di Jawa Barat, Mama Sindang Sari Pest. Sindang Sari Cigondewah (Ahli Ilmu mantik). Dikaruniai tiga putri ;

1.  N. Albi Awwaliyah Ridlolloh.,
2.  Ratu Asyuriyah Khowas.,
3.  Ufik Dzauqi Zakiyyah. 

Pendidikan Pesantren yang pernah ditempuh ;  Pesantren Baitul Arqom (Th. 1988 s.d 1994), Pesantren Al Hikmah Benda Jawa Tengah (Th. 1994 s.d 1995), Pesantren Cikalama Cicalengka (Th. 1995 s.d 1996), Pesantren Buni Sari (Th. 1997),  Pesantren Darut Tawwabin Pamuragan Cirebon (Th. 1997 s.d 1998). Pesantren Nurul Hikmah saguling  (Th. 1998).

Pekerjaan : Guru TP. Al Qur’an Al Arafah Tahun 1995 s.d sekarang., Penghulu Muda di Lingkungan Kemenag Kota Cimahi  s.d sekarang., Dosen Ilmu Falak dan Fiqih Ushul Fiqih di Perguruan Tinggi Islam Swasta di Cimahi, Tim Falakiyah BHRD Kota Cimahi s.d sekarang., Sekr. Fatwa MUI Kota Cimahi s.d sekarang.


Buku-buku yang pernah ditulis ;
  1. Buku SD PAI kelas 1 dan 4, Budi Ali Hidayat, S.HI.   Penerbit Titian Ilmu. Bandung,
  2. Sejarah Kebudayaan Islam untuk MA Kelas III.,  Penerbit Titian Ilmu Bandung,
  3. PAI untuk SMK Tingkat I Penerbit Angkasa Bandung.  
  4. Memahami Dasar-dasar Ilmu Faraidl dalam Teori dan Praktik, CV Angkasa Bandung
  5. Fiqih Lingkungan, MUI Kota Cimahi tahun 2011 Penerbit Pemkot Cimahi/MUI Cimahi
  6. Ilmu Asrar Hisab (edisi Sunda)  Al Arafah Tahun 2000
  7. Terjemahan Faidur Rabbani, Wasiat dan Nasihat Saidul Wujud Rasulullah saw., & Saidul Auliya Syekh Ahmad At Tijani ra. Al Arafah Tahun 2000
  8. Pelajaran Dasar Ilmu Falak Edisi 1. ( AlManak Syamsiyah/Qomariyah, Khusuf/Kusuf dan Rukyatul Hilal).
  9. Pelajaran Dasar Ilmu Falak Edisi 2. (Samtul Qiblat dan Penanggalan Jadwal Waktu Shalat)
  10. Fiqih Kepenghuluan Diktat Tahun 2012 


Barang-barang Peninggalan Rosululloh saw











Koreksi Tentang Sejarah Tijaniyah By. H.Harum


KOREKSI TENTANG SEJARAH TIJANIYAH
Assalaamu’alaikum. Akhirnya ada juga ikhwan “Tijaniyah” yang menyempatkan diri untuk berbagi pengetahuan tentang tarekat (bukan ilmu tarekat) yang kita amalkan di beberapa bloq. Walaupun hanya tulisan2 yang berkenaan dengan sejarah perkembangan Tijaniyah, itu sudah menunjukkan bahwa kita bangga dengan jalan/tarekat yang kita lakoni.
Tetapi sayang, tidak semua isi tentang sejarah perkembangan Tijaniyah yang dimuat benar. Ada sesuatu yang sengaja disembunyikan; ada sesuatu yang kita tidak mau mengakuinya secara jujur.
Ada yang salah kaprah di sini dan dengan mudahnya menyamakan Thoriqoh seperti layaknya organisasi keagamaan (seperti NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dll).
Sebenarnya ada 2 (dua) hal yang ingin kami koreksi dan menyampaikannya kepada khalayak Tijaniyah, yaitu sejarah perkembangan dan tatacara/Adab tholaab ilmu. Namun untuk ulasan saat ini, saya hanya ingin menyampaikan tentang sejarah perkembangan Tijaniyah di Indonesia.
Memang benar Syaikh Ahmad Tijani memberi ijazah kepada banyak murid. Dan dari banyak murid itu beliau angkat beberapa Muqaddam. Dan dari beberapa Muqaddam itu beliau angkat beberapa Khalifah (Pemimpin perguruan). Berkembangnya Tijaniyah di Indonesia lebih masyhur dikaitkan dengan perjumpaan antara Syaikh Ali Thoyib (saat itu sudah menjadi khalifah/pemimpin perguruan) dengan Kiai Usman Dhomiri. Singkat cerita, ketika Syaikh Ali Thoyib datang dan bermukim di Indonesia dalam waktu yg cukup lama, beliau memberi ijazah/taqlid/izin kepada beberapa orang menjadi murid beliau. Dari beberapa murid itu, diangkatlah beberapa Muqaddam, di antaranya :
1. Kiai Ahmad Sanusi
2. Kiai Muhammad Sudja’i
3. Kiai Usman Dhomiri (Cimahi, Bandung)
4. Kiai Anas, kiai Abbas, kiai Akhyas
5. Kiai Badruzzaman
6. Kiai Abdul Wahab Sya’roni
Ada satu contoh yang bisa menggambarkan tentang ADAB murid kepada gurunya, yaitu tentang Kiai Anas. Walaupun kiai Anas memperoleh ijazah pertama kali dan murid dari Syaikh AlFahasyim, namun ketika Syaikh AlFahasyim wafat dan digantikan oleh Syaikh Ali Thoyib, maka kiai Anas dengan ikhlas mengakui Syaikh Ali Thoyib sebagai guru (Pemimpin perguruan) beliau dan ber-ijazah untuk kedua kalinya. Kita bisa membayangkan bagaimana besarnya penghormatan Kiai Anas kepada Guru, walaupun sang guru seusia atau bahkan lebih muda usia. Itu adalah contoh ADAB yang mulia kepada Guru/SYAIKH, bagi yang meyakini bahwa tarekat Tijaniyah adalah AGUNG dan TINGGI.
Ketika Syaikh Ali Thoyib akan wafat, maka dari beberapa Muqaddam yang dipilih sebagai SYAIKH (Pemimpin perguruan) penerus adalah Kiai Usman Dhomiri. Maka sejak saat itu kiai Usman Dhomiri bergelar SYAIKH dan seluruh murid dan Muqaddam harus berkhidmat kepada SYAIKH yang baru, yaitu Syaikh Usman Dhomiri. Dengan menerima gelar SYAIKH, maka beliau menerima pula warisan Kitab JAWAHIRUL MA”ANI dan kitab2 yang lain termasuk 40 kitab yang berisi ilmu keduniawian.
Dalam perkembangan selanjutnya, bertambahlah murid beliau dan diangkatlah beberapa Muqaddam baru, di antaranya kiai Sudjatma Ismail (Bogor). Nah, di zaman kepemimpinan perguruan di bawah Syaikh Usman inilah terjadi benturan-benturan emosional yang sulit untuk mengakui Syaikh Usman sebagai Guru perguruan Tijaniyah, terutama dari beberapa Muqaddam yang jauh lebih sepuh usianya.
Dan hal ini akhirnya berlanjut menjadi semacam “Penyelewengan Kesetiaan” hingga kepada Syaikh yang berikut sampai sekarang. Syaikh Usman Dhomiri hanya mengangkat 4 (empat) orang Muqaddam, yaitu :
 1. Mualim KH Sudjatma Ismail
 2. Mualim KH Nu’man Dhomiri (Putra Syaikh Usman)
 3. Mualim KH Hasbulloh
 4. Mualim KH Musa Nasrudin 
Beberapa murid Syaikh Usman yang merupakan tokoh2 penting Indonesia, di antaranya adalah Presiden Soekarno, KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
Ada satu kejadian menarik di zaman Syaikh Usman, bahwa putra dari Syaikh Ali Thoyib pernah meminta beberapa Kitab (termasuk Jawahirul Ma’ani) agar diserahkan kepada beliau, tetapi Syaikh Usman menolak dengan keras. Tetapi anehnya putra dari Syaikh Ali Thoyib tersebut bisa mengadakan semacam perguruan Tijaniyah di tempat lain tanpa seizin Pemimpin Perguruan Tijaniyah; sesuatu di luar keladziman tarekat Tijani ( sebagai pengganti istilah ADAB).
Singkat cerita, ketika Syaikh Usman akan wafat, maka dari beberapa Muqaddam beliau yang dipilih sebagai SYAIKH (Pemimpin perguruan) penerus adalah Kiai Sudjatma Ismail. Maka sejak saat itu kiai Sudjatma Ismail bergelar SYAIKH dan seluruh murid dan MUQADDAM wajib berkhidmat kepada SYAIKH (Pemimpin perguruan) yang baru, yaitu Syaikh Sudjatma Ismail. Dengan menerima gelar SYAIKH, maka beliau menerima pula warisan Kitab JAWAHIRUL MA”ANI dan Kitab2 yang lain termasuk 40 kitab yang berisi 2000 ilmu keduniawian. Dalam perkembangan selanjutnya, bertambahlah murid beliau dan beliau mengangkat beberapa Muqaddam, di antaranya kiai Muhammad Syua’ib.
Singkat cerita, ketika Syaikh Sudjatma akan wafat, maka Muqaddam yang beliau pilih sebagai penerus Pemimpin perguruan Tijaniyah adalah kiai Muhammad Syua’ib. Maka sejak saat itu kiai Muhammad Syua’ib bergelar SYAIKH dan seluruh murid dan Muqaddam wajib berkhidmat dan tunduk kepada SYAIKH yang baru. Dengan menerima gelar SYAIKH, maka beliau menerima pula warisan Kitab JAWAHIRUL MA”ANI dan Kitab2 yang lain termasuk 40 kitab yang berisi 2000 ilmu keduniawian.
Syaikh Muhammad Syua’ib diangkat sebagai Syaikh dalam usia yang masih sangat muda, 30-an tahun
Di zaman Syaikh Sudjatma Ismail dan zaman Syaikh sebelumnya, aturan2 di dalam tarekat Tijaniyah sangat keras diberlakukan. Oleh karena itu, sebenarnya secara fakta ada beberapa murid dan Muqaddam yang tidak diakui lagi sebagai murid tarekat Tijani, alias dipecat, dan dicabut seluruh barokah dan manfaat ilmunya. Sebab musababnya berbagai macam; ada yang mencuri kitab, ada yang mengamalkan ilmu tanpa izin SYAIKH, ada yang berbohong, ada yang memfitnah SYAIKH atau mengadakan kegiatan perguruan di luar perguruan pimpinan SYAIKH.
Dan di zaman Syaikh Sudjatma dan zaman syaikh sebelumnya, seseorang belumlah diaku sebagai murid sebelum ijazah puasa 3 hari.
Jadi, kepada murid2 Tijaniyah dan saudara2 yang berminat tholaab ilmu Tijani, datangilah Muqaddam yang ada di kota/daerah anda untuk meminta ijazah tarekat, tetapi carilah Muqaddam yang sanad Ijazahnya tidak meragukan, bersambung secara jelas hingga kepada SYAIKH (Pemimpin Perguruan Tijaniyah) yang hidup, bukan saja sampai kepada sanad Syaikh yang sudah lama wafat. Kalau saudara ragu2, maka sebaiknya datangilah langsung SYAIKH di tempat beliau tinggal, itu lebih utama.
Seluruh SYAIKH tarekat- sanadnya MUTLAQ bersambung hingga kepada Rasulullah SAW. Dalam arti bahwa, semua SYAIKH tarekat adalah keturunan dari Rasulullah SAW, baik dari pihak Sayyidina Hussein r.a ataupun dari Sayyidina Hasan r.a, atau juga dari kedua-dua pihak.
Dalam tarekat Tijaniyah, SYAIKH diangkat secara KASYAF dan mewarisi seluruh ilmu Tijaniyah tanpa mempelajarinya. Yaa, secara logika saja, bila harus dipelajari/tholaab, maka 2000 ilmu itu akan memakan waktu yang sangat lama, bahkan setelah wafatpun belum tentu tamat. Para MUQADDAM dan MURID tidaklah mewarisi ilmu, tetapi THOLAAB ILMU, harus mengamalkan ilmu dengan syarat2 yang sudah ditentukan. Paling2 kita sebagai murid /muqaddam hanya kuat tamat 1-2 kitab (50-100 ilmu) saja sampai tutup usia.
Sebagai penutup ulasan, saya ingin mengingatkan diri kita akan perkataan Rasulullah SAW:
“Carilah ilmu (tholaab ilmu) sampai ke negeri Cina”, kita perumpamakan sebagai “tholaab-lah ilmu Tijani sampai ke negeri seberang”. Tetapi kita patut bersyukur, bahwa ada satu SYAIKH Tijani yang tidak jauh dengan tempat tinggal kita dan tidak perlu biaya yang mahal untuk mendatanginya. Bila saudara2 meyakini bahwa Tijaniyah itu kedudukannya AGUNG dan TINGGI, maka tak ada sesuatupun yang bisa menghalangi saudara2 untuk bertemu dengan SYAIKH yang menggenggam segudang ilmu, tentunya yang dimaksud adalah SYAIKH penerus dari SYAIKH yang sudah wafat. Kecuali, kita mempunyai kemampuan bertemu dengan SYAIKH yang sudah wafat tersebut dalam keadaan KASYAF. Jadi, setelah Syaikh Usman Dhomiri wafat, kepemimpinan perguruan dipegang oleh Syaikh Sudjatma Ismail (yg sebelumnya sebagai Muqaddam dari Syaikh Usman) dan kita wajib berkhidmat kepada SYAIKH yang baru. Dan setelah Syaikh Sudjatma wafat, kepemimpinan perguruan dipegang oleh Syaikh Muhammad Syua’ib sampai sekarang dan kita wajib berkhidmat kepada beliau. Lhaa, kalau nanti Syaikh Muhammad Syua’ib wafat, siapa yang memegang/meneruskan kepemimpinan?? Wallohu a’lam. Yang pasti seseorang dibai’at sebagai SYAIKH karena pilihan dan petunjuk dari Rasulullah SAW. Jadi, kalau kita memiliki ilmu KASYAF, bergurulah langsung kepada GURU BESAR yang sudah wafat: Sayyidi Syaikh Ahmad Tijani. Nggak perlu berguru kepada Syaikh Muhammad Al-Ghola hingga Syaikh Muhammad Syua’ib, apalagi berguru kepada murid2 yang tingkatannya hanyalah sebagai MUQADDAM. Mengapa penghormatan kita kepada MUQADDAM jauh melebihi penghormatan kepada SYAIKH (Pemimpin Perguruan Tijani)?
Bila kita ditakdirkan hidup sampai 500 tahun ke depan, maka kita pun harus tunduk dan berkhidmat kepada SYAIKH yang hidup 500 tahun mendatang.
By. Harun (http://luluvikar.wordpress.com/2004/08/22/tarekat-tijaniyah/